Jakarta (ANTARA News) - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mendukung kebijakan Bank Indonesia (BI) mengontrol transaksi valuta asing (valas) walaupun menilai langkah itu terlalu lunak dalam menjaga ketahanan ekonomi negara. "Persyaratan pembelian valas ekivalen 100 ribu dolar AS berdasarkan `underlying transaction' perlu lebih diperketat untuk mencegah penggunaan dokumen impor fiktif," ujar Ketua Komite Tetap Fiskal dan Moneter Kadin Indonesia Bambang Soesatyo di Jakarta, Kamis. Aturan BI terbaru menyebutkna, pembelian valas melalui perbankan dengan nominal di atas 100 ribu dolar AS wajib dilengkapi dokumen "underlying transaction" (transaksi yang sedang berjalan). Bambang mengorelasikan ketentuan itu dengan langkah otoritas moneter itu dalam mewajibkan bank mengidentifikasi korespondensi terkini antara importir dan eksportir serta korespondensi antara debitur dan kreditur untuk keperluan bayar utang. "Kalau keperluan valasnya untuk belanja barang modal, pembeli harus diwajibkan melampirkan progres dari proyeknya. Kalau mengaku untuk belanja bahan baku, harus ada kepastian bahwa proses produksi memang masih berjalan. Pengetatan ini sejalan dengan semangat menekan 'imported inflation," kata Bambang Mekanisme pengetatan belanja dolar yang sama pun perlu diberlakukan terhadap pembeli individu. Di samping itu, pengendalian pembelian valas untuk individu tidak cukup dengan menunjukkan NPWP, tapi juga perlu memperkecil jumlah atau volume transaksinnya. "Dalam situasi seperti sekarang, deposan besar rupiah mulai mengkonversi simpanannya ke sejumlah valuta utama seperti dolar AS dan Euro," ujarnya. Ia mengimbau orang dalam di BI maupun bank umum untuk menahan diri dan menolak menjadi calo valas. "Sudah jadi rahasia umum bahwa beberapa oknum BI menjadi calo bagi keperluan valas kelompok kelompok usaha besar maupun para VIP," katanya kepada ANTARA. Bambang hanya berharap pemerintah dan otoritas moneter membatasi transaksi valas dengan menerapkan pengawasan yang lebih ketat seperti dilakukan sejumlah negara. Ia mencontohkan Thailand melakukan pengawasan ketat lintas devisa dengan mengendalikan dana asing berjangka pendek ("hot money") yang diinvestasikan pada sistem perbankan negara itu baru bisa ditarik keluar setelah satu tahun. "Kalau negara lain bisa membuat pembatasan transaksi valas yang begitu, mengapa Indonesia tidak melakukan hal yang sama," ujar Bambang. (*)

Editor: Jafar M Sidik
COPYRIGHT © ANTARA 2008