Jakarta (ANTARA News) - Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) meminta pemerintah agar segera menindaklanjuti rencana pemutihan Kredit Usaha Tani (KUT) yang telah diputuskan sejak Juli lalu dengan langkah-langkah teknis. "KUT harus segera ditindaklanjuti dengan langkah-langkah teknis supaya koperasi terkait tidak terus-menerus menanggung beban masa lalu sehingga dapat beroperasi aktif kembali," kata Ketua Umum Dekopin, Adi Sasono, di Jakarta, Jumat. Ia mengatakan, tidak segera ditindaklanjuti rencana pemutihan itu telah membuat sejumlah koperasi masuk daftar hitam Bank Indonesia (BI) sehingga sulit mengakses pembiayaan perbankan untuk pengembangan usahanya. Selain itu, koperasi-koperasi tersebut juga kerap menjadi obyek tindakan negatif para oknum yang memanfaatkan kondisi tidak menguntungkan itu. "Sudah empat bulan sejak diputuskan untuk pemutihan sampai sekarang tidak ada tindak lanjut," katanya. Dari 138 ribu koperasi yang turut serta program KUT tercatat hanya sekitar 2.000 koperasi yang tidak melunasi pinjamannya karena berbagai sebab. Adi mengatakan, secara keseluruhan dana KUT sebesar Rp8,33 triliun yang telah kembali ke pemerintah adalah sebesar 26,05 persen. Menurut laporan Badan Pengawas dan Pembangunan (BPP) pada 1999, penyimpangan KUT hanya sebesar 7 persen. Adi mengatakan, KUT merupakan tindakan yang diambil dalam masa krisis sehingga penilaian program tersebut pada saat ini harus dilakukan secara menyelurah dan terintegrasi. "KUT itu salah satunya merupakan program untuk mencegah migrasi penduduk dari desa ke kota karena kelangkaan likuiditas di pedesaan," katanya. Kelangkaan likuiditas tersebut dikhawatirkan akan memperpanjang situasi yang semakin mengarah pada kerusuhan. KUT juga ditujukan untuk membantu peningkatan produktivitas pangan yang ketika itu Indonesia menjadi negara pengimpor 5,2 juta ton beras pada 1998. Program itu juga bertujuan untuk mendorong terciptanya lapangan kerja padat karya sekaligus sebagai upaya pengamanan sosial yang produktif dan edukatif. Oleh karena itu, Adi menekankan, KUT tidak berdiri sendiri melainkan terkait satu sama lain dengan pengadaan sarana produksi, penjaminan harga dasar sewaktu panen, pendampingan rakyat, dan jaminan pemasaran. Adi mengatakan, selang pascaprogram digulirkan, Indonesia berhasil menurunkan impor beras dengan tingkat inflasi yang semula 70 persen pada 1998 menjadi hanya 2 persen pada 1999, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar dari Rp17.500 menjadi Rp6.500.(*)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2008