Oleh Edy M. Ya`kub

Madinah (ANTARA News) - "Selama ini, kami jalan kaki, ternyata lama-lama capek juga. Alhamdulillah, pimpinan rombongan berinisiatif mencari mobil carteran setelah kami tinggal selama tiga hari di sini," kata jemaah haji dari Jepara, Jawa Tengah (Jateng),, Abdul Wahid.

Jemaah haji sektor I non-Markaziyah di Madinah dan rekan-rekannya itu mencarter (sewa) mobil dengan tarif rata-rata 2 riyal per-orang untuk rute pergi dan pulang (pp) dari pemondokan ke Masjid Nabawi yang berjarak lebih dari satu kilometer.

"Kami berangkat dalam satu rombongan yang berjumlah 7 hingga 8 orang setiap hari pada setiap pukul 10.00 WAS dengan membayar 1 riyal per-orang untuk carter mobil dalam sekali berangkat saja. Nanti, kalau pulang membayar 1 riyal lagi," katanya.

Harapan senada juga diungkapkan jemaah haji asal Sidoarjo, Jawa Timur, Untung Purwanto. "Pemondokan kami cukup jauh, sehingga kami hanya jalan kaki ke Nabawi untuk salat subuh," katanya.

Namun, katanya, dirinya tidak sanggup berjalan kaki bersama istrinya ke Nabawi bila siang hari untuk salat Dhuhur atau Asar.

"Kalau siang `kan panas, karena itu kami akhirnya naik taksi. Semula kami membayar lima riyal ke Nabawi, tapi sekarang kami sudah ada carteran mobil dengan membayar secara patungan satu riyal saja," katanya.

Agaknya, harapan jemaah haji tentang pemondokan yang dekat dengan Nabawi juga menjadi sorotan 10 orang anggota Komisi VIII DPR RI selaku pengawas haji ketika melakukan peninjauan ke Madinah pada 18-19 November 2008.

"Dalam rapat Panja (Panitia Kerja) DPR RI dengan Menteri Agama tentang BPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji), akan kami usulkan agar jemaah kita berada di Markaziyah semuanya," kata pimpinan rombongan DPR RI, M Said Abdullah, di Madinah (19/11).

Di sela-sela meninjau pemondokan di sektor V, II, dan I di Madinah, ia mengatakan jemaah haji Indonesia di Madinah saat ini ada 65 persen berada di Markaziyah dan 35 persen sisanya di kawasan non-Markaziyah.

"Kalau di Markaziyah semuanya, keamanan mereka tentu lebih terjamin, karena jemaah haji yang kecelakaan umumnya dari kawasan non Markaziyah (ring II yang berjarak lebih dari satu kilometer)," katanya.

Selain itu, katanya, jemaah haji yang berada di kawasan non-Markaziyah juga seperti dikejar-kejar waktu untuk menggenapi Arbain (salat 40 waktu tanpa terputus di Masjid Nabawi).

"Jemaah haji yang berada di kawasan non-Markaziyah memang mendapatkan uang pengembalian pemondokan sebesar 100 riyal, tapi mereka harus mengeluarkan uang 1 riyal per-orang untuk sekali naik mobil sewaan ke Masjid Nabawi, lalu pulangnya juga membayar lagi," katanya.

Tidak hanya itu, katanya, penempatan jemaah haji di kawasan Markaziyah seluruhnya juga akan dapat mengurangi jumlah petugas haji, karena jaraknya tidak jauh dari Masjid Nabawi.

Harapan jemaah haji pun mendapat dukungan dari Duta Besar (Dubes) Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Arab Saudi dan Kesultanan Oman, DR Salim Segaf Aldjufri.

"Nanti, saya akan usulkan agar seluruh jemaah haji Indonesia ditempatkan di kawasan Markaziyah semuanya," katanya di sela-sela peninjauan pemondokan jemaah haji di sektor I dan II, Madinah (21/11).

Menurut Dubes Salim Segaf, dirinya sangat yakin bila usulan penempatan pemondokan jemaah haji di kawasan Markaziyah (perhotelan) seluruhnya akan mendapat dukungan semua pihak.

"Bisa-tidaknya, saya kira bergantung uang sewa, tapi saya kira kalau sekarang kita sewa pemondokan di Markaziyah seharga 500 riyal dan non-Markaziyah seharga 400 riyal, maka kalau harganya ke depan 600-700 riyal tentu nggak akan menjadi masalah," katanya.

Ia menilai tambahan 200 riyal yang setara Rp600 ribu hingga Rp700 ribu, maka hal itu tidak akan menjadi persoalan, karena pemondokan di Markaziyah akan menguntungkan jemaah.

"Jemaah tidak akan jalan kaki terlalu jauh, kemudian mereka juga tidak akan jalan kaki melewati jalan-jalan besar yang membahayakan keselamatannya. Siapa pun akan mau kalau lebih dekat dan lebih aman, sehingga ibadah mereka pun khusyuk," katanya.

Terkait mungkin-tidaknya seluruh pemondokan haji 2009 di kawasan Markaziyah itu, Kepala Daerah Kerja (Kadaker) Madinah Drs H Ahmad Kartono menilai usulan itu sangat memungkinkan.

"Peluang itu sangat mungkin, karena masalahnya hanya jadwal keberangkatan yang akan maju dan plafon BPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji) perlu dinaikkan sedikit," katanya kepada ANTARA di Madinah (22/11).

Menurut dia, penempatan pemondokan jemaah haji di kawasan Markaziyah akan sangat menguntungkan jemaah haji, sehingga bila komponen BPIH dinaikkan dari 500 riyal menjadi 700-800 riyal (naik Rp600 ribu - Rp900 ribu) tidak akan menjadi masalah.

"Untuk jadwal keberangkatan juga maju sekitar 3 hari, misalnya kalau sekarang jemaah haji diberangkatkan ke Tanah Suci mulai 5 November, maka kalau seluruh jemaah haji di Markaziyah, maka jadwal keberangkatan harus dimajukan mulai 2-3 November," katanya.

Namun, katanya, keuntungan jemaah haji sendiri akan sangat banyak, di antaranya mengurangi kelelahan dan akhirnya menurunkan angka jemaah sakit, dan mengurangi angka jemaah kesasar (tersesat).

Selain itu, katanya, dapat mengurangi angka kecelakaan lalu lintas yang selama ini banyak dialami jemaah non-Markaziyah, dan jemaah haji juga akan mudah dan tak perlu terburu-buru melakukan arbain (salat 40 waktu tanpa terputus di Masjid Nabawi) karena mereka harus berjalan kaki cukup jauh dari Masjid Nabawi.

"Pemerintah juga akan diuntungkan karena dapat melakukan effisiensi, sebab jumlah petugas akan berkurang, karena pengawasan jemaah tak perlu banyak orang, sehingga satu sektor yang biasanya berjumlah 30-an orang akan dapat dikurangi menjadi 20 hingga 25 orang saja. Kendaraan untuk memantau jemaah haji pun akan berkurang," katanya. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2008