Jakarta (ANTARA News) - Selain meminta perhitungan ulang atas penurunan harga premium yang hanya sebesar Rp500 per liter, DPR RI juga tetap `ngotot` harga solar ikut diturunkan. Ketua DPR RI, HR Agung Laksono menyatakan itu, saat menyampaikan Pidato Pembukaan Masa Persidangan II, di Gedung Parlemen, Jakarta, Senin. Namun begitu, Dewan berpendapat, penurunan harga premium sebesar Rp 500 per liter mulai tanggal 1 Desember 2008 tersebut merupakan langkah positif, walaupun pemberlakuannya terlalu lama. "Tetapi, angka penurunan ini harus dihitung kembali hingga dapat lebih besar dari Rp500 karena adanya kenyataan bahwa harga minyak dunia makin turun," tegasnya. Ia juga menilai, penurunan yang sama juga harus dilakukan pada harga solar. "Dengan begitu, diharapkan daya beli masyarakat akan naik dan pada gilirannya meningkatkan sektor riil, mengingat bahan bakar minyak (BBM) jenis solar lebih bermanfaat dan mendukung kegiatan ekonomi masyarakat yang menggunakan angkutan umum juga para nelayan," ungkapnya. Menanggapi makin beratnya tekanan akibat krisis ekonomi dunia yang dipicu krisis finansial perbankan, Agung Laksono menyatakan, diprediksi tahun 2009 akan semakin berat bagi perekonomian Indonesia. "Oleh karenanya perlu dilakukan perubahan terhadap angka (asumsi) dalam APBN 2009," ujarnya. Namun Dewan mengingatkan, mengubah Undang Undang (UU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam berbagai program untuk menanggulangi krisis ini harus dengan persetujuan DPR RI. Ia juga mengungkapkan, akibat krisis ini, yang sangat tertekan antara lain bidang komoditi, properti dan finansial. "Sektor industri padat karya yang berlokasi di beberapa wilayah sudah mulai `collaps` karena hasil produksinya tidak dapat dipasarkan. Sementara sektor properti mengalami kesulitan karena tingginya bunga bank," ujarnya. Di sisi lain, lanjutnya, masyarakat menengah ke bawah sulit memperoleh kredit perumahan. "Sedangkan sektor riil yang seharusnya menjadi andalan, mengalami perlambatan pertumbuhan," katanya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2008