Jakarta  (ANTARA News) - Pihak Asing menyediakan pinjaman siaga (standby loan) sebesar lima miliar dolar AS yang sewaktu-waktu dapat digunakan Indonesia untuk menutup pembiayaan defisit APBN 2009. "Jadi yang disebut standby loan sekarang itu dari Jepang, Australia, ADB, Bank Dunia, secara keseluruhan  jumlahnya mencapai lima miliar dolar AS," kata Menkeu/Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Jumat. Menkeu menjelaskan, disebut standby loan karena Indonesia dapat menarik atau tidak pinjaman itu tergantung biaya dan waktunya. "Kalau biaya melakukan pinjaman di pasar sudah turun, kalau pasar sudah normal, krisis global tidak terus berlangsung, artinya obligasi global (global bond) sudah pulih, maka kita bisa pakai itu (obligasi)," katanya. Sementara kalau masih terganggu dan harga menjadi sangat mahal sehingga risikonya tinggi, maka pemerintah akan menarik standby loan itu. "Ini yang sedang kita bahas, nanti kalau persetujuan sudah ada hasil, sudah disetujui, maka akan diumumkan pada Januari. Dukungan yang saat ini muncul atau pasti sangat menggembirakan. Artinya, di atas yang sudah ada di APBN 2009 sebesar 2,8 miliar dolar AS itu, masih ada yang lima miliar dolar AS," katanya. Menkeu menjelaskan, dalam suasana normal, separuh dari pembiayaan defisit APBN 2009, akan dipenuhi melalui penerbitan obligasi negara atau SUN. "Biasanya dengan menjual SUN dalam negeri, entah itu ORI, SUN reguler, maupun sukuk, atau penerbitan obligasi. Adapun yang sisanya sumbernya bilateral dan multilateral yang jumlahnya sekitar 2,8 miliar dolar AS," katanya. Menurut dia, krisis keuangan global membuat pasar saham dan obligasi dunia mengalami guncangan yang sangat besar. "Akibatnya adalah harga maupun yield, yang implisit suku bunga, menjadi sangat tidak normal. Contoh, Indonesia yang lima tahun lalu bunganya masih di bawah 9 persen, begitu terjadi krisis, yiled menjadi 15 persen," katanya. Padahal, lanjutnya, krisisnya bukan di Indonesia karena APBN bagus, penerimaan cukup, tapi karena yang beli bond sedang krisis, mereka tidak mau atau minatnya terhadap bond dari negara berkembang turun. Menurut dia, kalau biaya menjadi terlalu mahal, maka tidak menguntungkan,  padahal diperlukan untuk pembangunan, pengentasan kemiskinan, infrastruktur, kesehatan, dan lainnya. "Dan kalau negara seperti kita kalau untuk melaksanakan pembangunan harus bayar suku bunga yang begitu mahal, kan sangat tidak adil," katanya. Karena itu, dalam pembahasan G20, dan dibicarakan dengan ADB dan Bank Dunia,Indonesia mengusulkan adanya dukungan semacam itu. "Sehingga keputusannya, kalau pasar masih terguncang, maka kebutuhan dari pasar akan digantikan oleh sumber bilateral dan mulilateral dengan suku bunga yang dianggap relatif lebih stabil. Misalnya Libor + 20, itu yang dianggap normal," katanya. (*)

Pewarta: muhaj
COPYRIGHT © ANTARA 2008