Yogyakarta,  (ANTARA News) - Banyaknya partai politik (Parpol) peserta Pemilu mengakibatkan sistem kepartaian terlalu komplek dan tidak sesuai dengan pemerintahan presidensiil yang dianut Indonesia.

Hal tersebut dinyatakan pengamat politik dari Universitas Indonesia, Arbi Sanit, saat menjadi pembicara dalam Seminar "Problems and Options of Indonesia Democracy, di Universitas Gadjah Mada (UGM), Selasa.

"Sistem kepartaian harus disederhanakan dan diolah secara sistemik dan internal karena bila terlalu banyak tidak akan efektif," katanya.

Pada sistem kepartaian yang terlalu banyak seperti menjelang Pemilu 2009, yaitu 34 partai politik dan 6 partai lokal peserta pemilu, membuat parpol seringkali memungut kader secara sembarangan tanpa memperhatikan kualitas.

"Misalnya untuk menjadi caleg (calon legislatif) di parpol tertentu harus membayar. Ini bahaya, saat demokrasi sudah jadi ajang bisnis," ujarnya.

Selain menuntut sistem kepartaian yang sederhana sehingga muncul mayoritas untuk mendukung pemerintahan yang presidensiil, Arbi menyatakan sistem pemerintahan juga harus memiliki sifat koheren.

Bila sistem kepartaian sudah sederhana maka akan muncul parpol yang memiliki mayoritas terbesar dan memiliki representasi. "Representasi ini perlu koherensi dengan sistem pemerintahan indonesia karena jika tidak, apapun upayanya maka demokratisasi tidak akan terbangun," ujarnya.

Arbi juga menyayangkan bahwa demokrasi tidak memberikan syarat kepada calon pemimpin negara untuk memiliki kapabilitas seorang pemimpin.

"Tidak ada jaminan bahwa pemimpin yang lahir dari Pemilu nanti memiliki kapabilitas yang baik," lanjutnya.

Selain itu, dua kali Pemilu yang digelar setelah era reformasi yaitu pada 1999 dan 2004, menurut Arbi masih berpihak pada kepentingan kaum elit untuk mendapatkan kekuasaan.

"Dan setelah itu mereka bisa melakukan korupsi, lihat saja alokasi anggaran (APBN) 70 persen untuk kepentingan mereka dan sisasnya untuk prasarana publik," lanjutnya.(*)

Editor: Aditia Maruli Radja
COPYRIGHT © ANTARA 2008