Jakarta, (ANTARA News) - Gubernur Bank Indonesia Boediono mengatakan, pihaknya akan menambah amunisi untuk menjaga stabilitas rupiah. "Kita punya amunisi juga dan insyaallah amunisinya ditambah dalam waktu beberapa bulan ke depan ini," katanya di Jakarta, Jumat. Ia menegaskan pihaknya akan selalu mengusahakan agar rupiah memiliki posisi yang baik guna mendukung makro ekonomi Indonesia. "Mata uang itukan naik turun, sesuai dengan `demand` (permintaan), kita tentunya akan cermati ini, intinya kita tetap mengusahakan posisi yang baik, cukup stabil pada tingkat yang sesuai yang diperlukan oleh ekonomi makro," katanya. Sesuai dengan rezim devisa bebas, menurut dia, pihaknya tidak bisa mendikte pasar dalam menentukan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing terutama dolar. "Tetapi kita bisa melakukan sesuatu kalau kita selalu di pasar," katanya. Kurs rupiah, dalam beberapa bulan ini mengalami gejolak yang tajam. Sempat bertengger dilevel Rp9.000 per dolar AS pada bulan Juli akhir, namun terus melemah bahkan menembus angka Rp12.000 pada November 2008. Pada akhir Juli, berdasarkan data BI, nilai kurs beli dolar Rp9.072 sementara jual Rp9.164. Sedangkan pada 31 Oktober 2008, kurs jual Rp11.050 dan kurs beli Rp10.940. Rupiah pada akhir November rupiah sempat mencapai angka tertinggi menembus Rp12.000 yaitu diperdagangkan Rp12462 per dolar AS untuk jual, dan Rp12.338 untuk beli. Namun selama sepekan ini, rupiah mengalami penguatan. Kini rupiah menurut data BI diperdagangkan pada level jual Rp11.105 per dolar AS dan beli Rp10.995 per dolar AS. Akibat pelemahan rupiah tersebut, cadanga devisa juga mengalami tekanan karena digunakan untuk melakukan intervensi ke pasar. Sejak Juli 2008, cadangan devisa terus merosot sekitar 10 miliar dolar AS. Akhir Juli 2008, cadangan devisa mencapai 60,563 tertinggi selama 2008 ini. Agustus, cadangan devisa turun menjadi 58,358 miliar dolar. Akhir September, kembali merosot 1,15 miliar dolar AS menjadi 57,108 miliar dolar AS. Pada Oktober Cadanmgan devisa mencapai 50,580. Sedangkan pada November cadangan devisa kembali melorot menjadi 50,2 miliar dolar AS. Cadangan devisa menurut Gubernur Bank Indonesia Boediono di Jakarta, Jumat, angka terakhirnya mencapai 50,6 miliar dolar AS atau meningkat sekitar 420 juta dolar AS dibanding posisi akhir November yang mencapai 50,18 miliar dolar AS. Sementara itu, kurs rupiah terhadap dolar AS di pasar spot antar bank Jakarta, Jumat sore turun tajam jauh di atas angka Rp11.000 per dolar AS, tertekan oleh aktifnya pelaku pasar yang memburu dolar AS karena upaya pemerintah AS membantu industri otomotifnya belum mendapat respon Senat. "Senat AS belum memberikan persetujuan untuk membantu sektor industri otomotif sehingga menimbulkan kekhawatiran bahwa krisis keuangan di AS akan bisa berlangsung lebih lama," kata Direktur Utama Financorpindo Nusa, Edwin Sinaga di Jakarta, Jumat. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mencapai Rp11.205/11.250 per dolar AS dibanding penutupan sebelumnya Rp10.975/11.205 atau turun 230 poin. Menurut dia, permintaan dolar AS di pasar domestik cukup besar, baik individu maupun BUMN membutuhkan dolar AS untuk memenuhi kebutuhannya. BUMN misalnya harus membayar hutang yang sudah jatuh tempo sehingga permintaan dolar AS meningkat tajam. Ia mengatakan, Bank Indonesia (BI) harus melakukan kerjasama dengan bank sentral asing untuk dapat memasok dolar ke pasar lebih banyak, karena tanpa kerjasama itu BI akan kerepotan untuk mengatasi permintaan yang cenderung meningkat. Selain itu BI harus tetap memantau kegiatan pasar, terutama terhadap bank-bank asing yang bermain valas agar dapat dibatasi kebutuhan dolarnya. katanya. Rupiah sebelumnya sempat melemah mencapai angka Rp12.300 per dolar AS, namun isu positif dengan dikeluarkannya dana talangan sebesar 700 miliar dolar AS, mendukung rupiah menguat tajam. Namun isu positif tidak berlangsung lama, karena rupiah kemudian kembali melemah yang selama dua pekan lalu berlangsung antara Rp10.550/11.000 per dolar. Rupiah diperkirakan akan tetap berada pada posisi antara Rp11.500 sampai Rp12.000 per dolar AS, karena tekanan pasar kemungkinan akan semakin besar. Hal ini disebabkan gejolak krisis keuangan akan semakin terasa pada tahun depan, ujarnya. (*)

Pewarta: adit
Editor: Aditia Maruli Radja
COPYRIGHT © ANTARA 2008