Bandung (ANTARA News) - Para pelaju Jakarta-Bandung yang masih atau pernah melintasi jalur Puncak, Cianjur, Padalarang, pasti tidak keberatan kalau disebut ruas Padalarang-Cimahi merupakan jalur yang tidak menyenangkan.
   
Jalur itu berkelak-kelok tajam, mengocok perut, dan membuat mual. Pemandangannya juga kacau; bukit yang hancur-hancuran digerus traktor dan selalu dipenuhi asap pabrik pengolah batu kapur.
   
Pada tengah Desember, keadaan itu masih terasa. Malah, kini berdiri sejumlah pabrik yang terbilang baru.
   
Sejumlah pabrik tradisional yang berdiri di pinggir jalan sudah menjadi masa lalu, tapi di beberapa lembah berdiri pabrik baru dengan ukuran lebih besar.
   
Gunung Masigit, yang berdiri paling kiri kalau dilihat dari Jalan Raya Padalarang-Cimahi, tinggal separuhnya. Bagian hijau tinggal di sisi yang tidak terlihat. Pada sisi tengahnya, bukit itu terlihat seperti punya luka terbuka, badannya menjadi lahan galian yang tidak terkendali.
   
Sinar matahari siang memberikan pantulan menyakitkan saat mata memandang tanah warna coklat yang sedang digerus traktor. Asap hitam berulang kali keluar dari balik bukit, bukti ada pembakaran kapur di sebelah sana. Asap putih terus membatasi pemandangan.
   
Tapi, dalam suasana tidak menyenangkan itu, dua pegiat Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB) Budi Brahmantyo (peneliti ITB) dan Eko Yulianto (peneliti LIPI), malah menawarkan wisata alternatif di kawasan itu.
   
Kawasan yang digagas dan dipromosikan ke banyak pihak sebagai Taman Batu itu merupakan bukit yang bertetangga dengan Gunung Masigit. Namanya Bukit Pawon.
   
Bersama Goa Pawon yang ada di perut bukit itu,  kawasan karst (gunung kapur)  Pawon diusulkan  untuk dijadikan Kawasan Cagar Alam Geologi.
   
Untuk mencapai kawasan itu, bisa turun di Citatah, Padalarang, sekarang masuk Kabupaten Bandung Barat, yaitu kawasan yang terkenal sebagai tempat pemanjat tebing memperlihatkan keahliannya.
   
Jalan yang ditempuh untuk memasuki kawasan wisata alternatif itu ialah jalan yang menjadi akses para penambang batu kapur Gunung Masigit.
   
Maka, ketika pertama kali melangkah ke kawasan itu, muncul kesimpulan dini: ini tidak layak untuk wisata, karena yang dijumpai justru kerusakan bukit dan sejumlah orang yang bekerja menjemur bubur kapur.
   
Apalagi ketika langkah kaki tiba di muka Gunung Masigit yang dikeruk habis hingga perutnya. Traktor leluasa mencabik-cabik isi Masigit, dan truk leluasa lalu lalang mengangkut batu kapur.
   
Tapi, kata Budi, justru semua fakta kerusakan Masigit yang nantinya bisa memberi bandingan betapa Bukit Pawon patut diselamat.
   
Masigit kini amburadul. Itu, menurut Budi, karena bukit tersebut dikeroyok oleh tujuh pengusaha pengambilan batu kapur yang berbekal izin camat.
   
Beruntung, kata dia, Kabupaten Bandung Barat sudah membentuk tim untuk mengatasi penambangan kapur yang rata-rata tidak sah di kawasan itu.

Bukit Pawon
   
Setelah melihat traktor yang mencabik-cabik isi Gunung Masigit, perjalanan ke Bukit Pawon dimulai. Pemandangan yang berbeda dengan keadaan Gunung Masigit mulai terasa.
   
Bukit Pawon dipenuhi batu berbagai ukuran. Batu-batu itu tersebar bagaikan diatur untuk membentuk sebuah taman. Itu pula sebabnya, kawasan itu dipromosikan sebagai Taman Batu (Stone Garden).
   
Angin semilir siang itu menyejukan perjalanan di bukit tersebut. Yang dari sana, orang bisa melihat persawahan, jalur kereta api Jakarta-Bandung, Jalan Tol Cipularang, dan perbukitan yang mengelilingi kawasan karst kelas satu yang masih terjaga baik itu.
   
Bukit Pawon (733 meter di atas permukaan laut) diapit Masigit  dan  Karang Penganten. Dari sana akan terlihat Karang Penganten,  Bukit Masigit, Pasir Leuit, dan Bukit Bancana,  gugusan bukit  Pabeasan dan Citatah. 
   
Budi mengatakan, batu yang bertebaran di Bukit Pawon merupakan bukti bahwa kawasan itu pernah menjadi laut, berjuta tahun lalu. Batu-batu kapur yang ada di sana, dengan keadaannya yang berlubang dan berceruk, merupakan khas terumbu karang.
   
Batu yang tersebar di puncak bukit seluas sekira dua lapangan sepak bola itu merupakan terumbu karang ketika Cekungan Bandung masih berupa laut pada jaman Olegomiosen.
   
"Jadi, selain keindahan yang ditawarkan, kawasan ini juga menawarkan pembelajaran, geologi dan arkeologi," kata Budi. Soalnya, di kawasan bukit itu juga pernah ditemukan fosil manusia purba pertama di Jawa Barat, yaitu fosil manusia goa di Goa Pawon.
   
Ini juga benteng terakhir penyelamatan karst tertua di Jawa, setelah karst di Yogya habis digerus.
   
Menurut Eko Yulianto, batu gamping di kawasan karst memang berpotensi untuk bahan baku dan bahan campuran sejumlah industri, mulai pabrik gula, pabrik semen, hingga kosmetik.
   
Tentu saja pabrik semen yang paling merusakan kawasan karst, karena hingga 80 persen bahan baku pabrik itu berasal dari batu kapur.
   
Eko mengatakan, Pemerintah Daerah Bandung Barat sudah mendeklarasikan bahwa kawasan Bukit Pawon tidak boleh diusik kegiatan penambangan.
   
"Istilahnya, pemda sudah minta agar Bukit Pawon selalu dikawal," katanya.
   
Sejumlah kegiatan untuk mendukung penyelamatan bukit itu dari penggerusan dilakukan sejak beberapa tahun lalu oleh Kelompok Riset Cekungan Bandung. Mereka, misalnya, menanam sekira 1500 pohon mahoni di sepanjang jalan menuju Goa Pawon, yang terdapat di perut Bukit Pawon.
   
Mereka kini juga merencanakan berbagai cara untuk memberikan masyarakat sekitar kawasan itu pekerjaan alternatif selain menambang batu kapur.
   
Sejalan dengan kegiatan penyelamatan kawasan karst Citatah, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB bekerjasama dengan pemerintah daerah setempat merancang kampus lapangan di sana.
   
ITB, kata Budi, sudah mendapat lahan sekira 3 ha di Bukit Bancana yang dimiliki pemerintah propinsi sebagai tempat berdirinya kampus lapangan.
   
Menurut dia, kampus itu akan dinamakan Laboratorium Lapangan Eksperimen Kebumian, tempat mahasiswa belajar secara nyata tentang teori erosi dan sebagainya.
"Semoga tahun 2010 sudah bisa berdiri," katanya.
   
Kawasan di Desa Masigit itu memang tidak sebaik laboratorium geologi Karang Sambung, milik LIPI di Kebumen, katanya, tapi di kawasan itu terdapat batu-batuan yang tidak ada di Kebumen.
   
Laboratorium itu, katanya, diharapkan juga menghasilkan suatu pekerjaan bagi masyarakat sekitar selain menggali batu.
   
Bagi dosen ITB itu, pengembangan karst pawon untuk wisata memang tidak bisa secara massal, melainkan wisata terkontrol dengan  pemandu  yang memiliki pemahaman geologi dan arkeologi.
   
Dari puncak Bukit Pawon, orang bisa melihat pemandangan yang saling berlawanan.
   
Dari sana bisa terlihat persawahan dan lembah hijau menyejukkan mata. Lalu-lalang kendaraan di jalur tol yang menghubungkan Jakarta-Bandung. Juga perbukitan yang dipakai untuk jalur kereta api.
   
Pada sisi lain, Buki Masigit dan Karang Penganten menyajikan keserakahan manusia yang membuat batu di bukit itu dicongkel hingga ke perutnya.
   
Juga pabrik pengolah batu kapur yang berderet di bawah perbukitan. Dari sana, keluar asap putih yang menghalangi pandangan mata, dan secara berkala asap hitam terbang meninggi mengotori udara.
   
"Ya, inilah kenyataan yang ada," kata Budi.
   
Itu, katanya sambil menunjuk suatu perkampungan di bawah Bukit Pawon, namanya Kampung Cinyusuan, dan di sana kini hanya memiliki satu mata air. Padahal, kata dia, nama Cinyusuan dalam bahasa sunda memiliki makna bahwa kawasan itu berlimpah air.
   
Berkurangnya persediaan air tanah merupakan akibat yang paling terasa ketika kawasan karst digerus habis. Kawasan karst selama ini terbukti sebagai penyimpan air tanah yang baik, dengan goa dan dan danau bawah tanah yang menyimpan air hujan yang  diserap  tanah kapur di permukaan karst. (*)

Oleh Oleh Sapto Hp
Editor: Guntur Mulyo W
COPYRIGHT © ANTARA 2008