Yogyakarta (ANTARA News) - Calon anggota legislatif (caleg) kini sedang kebingungan untuk menentukan strategi kampanye yang akan dilakukan, karena persaingan dengan rival dari partai politik (parpol) lain atau bahkan sesama caleg internal partai semakin berat.

"Mereka harus mampu tampil beda agar dikenal oleh publik, tetapi yang ada sekarang mereka hanya mementingkan kampanye yang bersifat teknis," kata Direktur Pascasarjana Progam Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) I Ketut Putra Erawan di sela acara Transformasi Politik Lokal di Yogyakarta, Sabtu.

Ia mencontohkan seperti di Bali dengan nama calon yang hampir serupa, maka akan membingungkan pemilih dan juga caleg untuk menentukan strategi kampanye yang tepat.

Menurut dia, pola kampanye yang kemudian dijalankan oleh caleg adalah dengan kampanye personal atau lebih mengutamakan pencitraan diri dengan menampilkan foto yang dicetak pada spanduk-spanduk besar dan dipasang di sepanjang jalan.

"Biasanya masyarakat juga tidak mengenal siapa caleg tersebut dan bagaimana kualitasnya," katanya.

Namun demikian, Ketut mengatakan kampanye dengan model itu tidak efektif dan tidak memberi pendidikan politik kepada masyarakat.

Dia mengatakan di daerah dengan basis massa parpol yang kuat, biasanya parpol hanya akan memasang tanda parpol, tetapi di daerah baru diperlukan pola kampanye yang mampu menjaga komunikasi antara caleg dengan pemilih.

"Berkah di balik ini semua adalah memaksa caleg untuk lebih mendekati publik dengan cara-cara yang baik dalam kacamata politik," katanya.

Sementara itu, dalam internal parpol peserta pemilu juga masih mengalami kegagapan dalam menghadapi pemilu mendatang di antaranya karena tidak memiliki rencana kampanye yang baik dan kurang mampu mendeteksi pemilih.

"Kondisi tersebut kemudian diperparah dengan masa kampanye yang panjang, sehingga mereka tidak tahu harus bersikap seperti apa. Apakah memuntahkan `peluru` di awal kampanye, atau menunggu hingga batas akhir kampanye baru `menyerang`," katanya.

Ketidaktahuan itu, lanjut Ketut, menjadikan parpol kemudian dianggap gagal melakukan fungsinya, padahal parpol adalah satu-satunya institusi yang menghubungkan antara negara dan masyarakat.

"Oleh karena itu, parpol harus diperbaiki, karena parpol adalah darah dalam tubuh, sehinga bila darahnya kotor, maka segala penyakit akan muncul," katanya.(*)

Pewarta: rusla
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2008