Jakarta (ANTARA News) - Walaupun hasil amandemen konstitusi UUD 1945 memperkuat sistem presidensial, tetapi dalam implementasinya terjadi pergeseran hingga sedikit menyentuh praktik sistem parlementer.

Demikian salah satu pemikiran yang muncul dalam diskusi "Quo Vadis Sistem Politik Indonesia: Antara Presidensial dan Parlementarisme" di Media Lounge DPP Golkar di Slipi Jakarta Barat, Selasa.

Diskusi yang dibuka Wakil Ketua Umum DPP Golkar Agung Laksono menghadirkan Ketua DPP Golkar Syamsul Muarif, Staf Ahli Presiden Denny Indrayana, pengamat politik dari UI Tjipta Lesmana dan Redaktur Pelaksana Harian Kompas Budiman Tanuredjo.

Agung Laksono menegaskan, sistem pemerintahan yang diterapkan Indonesia sudah sesuai konstitusi, yaitu presidensial. Namun, implementasinya dengan "catatan" dimana untuk keputusan tertentu pemerintah mengikutkan DPR.

Syamsul Muarif mengemukakan, implementasi sistem presidensial diwarnai dengan intervensi DPR. Sebut saja dalam pembahasan anggaran, DPR terlibat hingga pembahasan Satuan III.

Menurut syamsul, adanya pergeseran implementasi sistem presidensial itu terkait dengan fragmentasi politik yang multipartai.
Padahal sistem presidensial sebenarnya tidak tepat diterapkan di negara yang multipartai.

Hal itu menyebabkan adanya kompromi-kompromi politik agar pemerintahan bisa bekerja. tanpa melakukan kompromi dengan partai-partai politik, sulit bagi pemerintah untuk melakukan programnya.

Karena itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menempatkan kader-kader partai di kabinetnya sehingga 70-80 persen kekuatan politik memberi dukungan kepada pemerintah.

Tetapi dukungan partai politik kepada kabinet melalui kompromi penempatan kadernya belum seimbang dengan dukungan dari parlemen. Karena itu, kabinet kurang maksimal melakukan kinerjanya.

"Itulah sebabnya, sebenar-sebentar muncul hak interpelasi, sedikit-sedikit muncul hak angket di DPR," katanya yang menambahkan, ada ketidakcocokan antara besarnya dukungan partai kepada kabinet dengan dengan dukungan partai di parlemen.

Tjipta Lesmana mengemukakan, sistem presidensial sudah ditegaskan dalam konstitusi, tetapi dalam praktiknya partai politik ingin dilibatkan dalam kepututusan penting pemerintah.

"Kita menerapkan kuasi presidensial dan kuasi parlementer," katanya yang menambahkan hal itu sebagai bentuk "kekacauan" hasil amandemen konstitusi.

Budiman Tanuredjo mengemukakan, salah satu pergeseran implementasi sistem presidensial adalah ketika Presiden mengajukan nama Panglima TNI tetapi kemudian ditarik. Hal itu memicu tarik-menarik kepentingan antara DPR dengan pemerintah.

Untuk menciptakan kesetabilan keseimbangan dukungan agar pemerintah bisa bekerja optimal, Denny Indrayana mengusulkan dilakukan penyederhanaan partai. Penyederhanaan itu seiring dengan hakikat sistem presidensial yang kurang tepat diterapkan dengan multipartai.

Denny tak sependapat bila adanya pergeseran implementasi sistem presidensial karena "kekacauan" hasil amandemen. Pergeseran itu sebaiknya dikoreksi.(*)

Pewarta: rusla
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2008