Magelang  (ANTARA News) - Misa agung malam Natal 2008 oleh ratusan umat Kristen Katolik lereng Gunung Merapi, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, ditandai pementasan wayang kulit kontemporer mengusung lakon "Wahyu Lintang Pituduh".

Ibadah yang dipimpin Kepala Gereja Paroki Maria Lourdes, Romo Vincensius Kirdjito Pr., berlangsung di gedung "Gubug Selo Merapi (GSPi)" Lor Senowo, Desa Mangunsuko, Kecamatan Dukun, Magelang, Rabu (24/12) malam itu dengan menggunakan Bahasa Jawa dan iringan tabuhan gamelan palaran.

Pementasan wayang dengan dalang muda, Supratik, berasal dari Desa Sewukan, di kawasan utara Sungai Senowo yang aliran airnya berhulu di kaki Merapi itu sebagai pengganti kotbah romo.

Sang dalang melalui lakon itu menuturkan Werkudoro atau Bima diiringi para punakawan (Semar, Bagong, Gareng, dan Petruk) menjalani hidup prihatin saat mencari "Wahyu Lintang Pituduh" di sebuah padepokan di lereng Merapi yang dipimpin Prabu Waseso Jati.

Perjalanan pencarian wahyu itu ditandai dengan berbagai rintangan namun dengan semangat prihatin mampu diatasi oleh tokoh utama cerita itu, Bima.

Properti pementasan ditandai dengan dua wayang gunungan kontemporer dari sekam yang ditancapkan di dua ujung gedebok.

Dikisahkan sang dalang bahwa wahyu itu menjadi kekuatan penting bagi Bima untuk mewujudkan ketenteraman di Kesatrian Jodipati, tempat tinggalnya.

Wahyu itu diceritakan bersemayam di Merapi dan menjadi kekuatan spiritual masyarakat setempat yang sebagian besar sebagai petani holtikultura dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

"Lakon `Wahyu Lintang Pituduh" jelas menggambarkan kehidupan di tempat kita ini (Merapi,red) yang tenteram dan penuh dengan kemakmuran, masyarakatnya guyup rukun," kata Romo Kirdjito.

Ia mengatakan, lakon itu menjadi gambaran bahwa kelahiran Yesus yang diperingati pada Hari Natal oleh umat sebagai kehadiran Allah di bumi yang membawa kebahagiaan manusia.

"Lintang Pituduh" yang artinya bintang petunjuk, katanya, melambangkan kedatangan Sang Juru Selamat yakni Yesus Kristus di tengah manusia.

"Allah yang menjadi manusia, membawa kebahagiaan hidup manusia," katanya.

Umat setempat terkesan secara takzim mengikuti misa malam Natal yang dikemas dalam nuansa seni budaya gunung itu.

"Kita semua selalu ingin mengemas perayaan Natal di tempat ini dengan tradisi Natal Jawa, Natal gunung, ada misa budaya," katanya.

Usai misa agung malam Natal, para seniman petani dari Padepokan "Tjipto Boedojo Tutup Ngisir" di kawasan lereng barat Gunung Merapi, Magelang, pimpinan Sitras Anjilin, menyuguhkan wayang orang dengan lakon "Tumuruning Wahyu Katenteraman" (Turunnya Wahyu Ketenteraman).

Sitras menjelaskan, wayang orang carangan itu bertutur perjalanan Arjuna (Widya) dalam memperoleh wahyu sebagai kekuatan dirinya sebagai seorang satria dari Kesatrian Madukara.

Wahyu yang sebenarnya memang turun untuk Arjuna, dikisahkan terlebih dahulu menjadi rebutan para dewa di khayangan yakni Narada (Hari), Yamadipati (Teguh), keduanya berada di kubu kebaikan, dengan Batara Guru (Suwanta), Srani (Tejo), dan Betari Durga (Surtikanti), ketiganya di kubu kejahatan. Perebutan wahyu itu dimenangi Dewa Srani.

Namun, kata Sitras, khayangan menjadi kacau karena wahyu itu turun kepada Dewa Srani atau tidak turun kepada Arjuna.

"Yang berhak atas wahyu itu Arjuna, sehingga kalau jatuh ke tangan lain mengakibatkan kekacauan, yang menerima harus orang yang berbudi luhur," katanya.

Ia menjelaskan, lakon itu menuntun manusia untuk memiliki budi luhur dan menuntun masyarakat untuk memilih pimpinan yang berbudi luhur.

"Budi luhur menjadi kekuatan yang membawa hidup bersama menjadi tenteram," katanya. (*)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2008