Jakarta (ANTARA News) - Dalam kurun waktu delapan tahun terakhir industri telekomunikasi bergerak cepat. Ibarat "jet coaster", pertumbuhan industri telekomunikasi melesat, dan menjadi salah satu penyumbang pertumbuhan ekonomi nasional. Betapa tidak jika pada tahun 1999 laju pertumbuhan sektor telekomunikasi masih relatif kecil dibanding pertumbuhan sektor lainnya misalnya sektor perdagangan dan manufaktur, pada tahun 2008 sektor telekomunikasi yang merupakan bagian dari teknologi informasi dan komunikasi (Information, Communication and Technology/ICT) ini mampu memberi kontribusi hingga 1,8 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Menurut Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, kontribusi sektor telekomunikasi terhadap PDB terus mengalami peningkatan dan telah mencapai 1,8 persen, lebih tinggi dibanding perkiraan lembaga survei asing sekitar 1,3 persen. Harus diakui dampak multiplier industri telekomunikasi di Indonesia sangat luar biasa, karena menjadi infrastruktur penggerak seluruh sektor mulai industri telekomunikasi itu sendiri, juga mendorong sektor perdagangan, manufaktur, sektor usaha kecil menengah sebagai penggerak ekonomi rakyat. Seiring perkembangan teknologi, layanan telekomunikasi telah menjadi salah satu kebutuhan pokok masyarakat. Jika sekitar 10 tahun lalu rata-rata seorang penduduk mengeluarkan biaya komunikasi masih relatif kecil, belakangan dengan kasat mata seorang pengguna telepon bisa menghabiskan pulsa hingga ratusan ribu rupiah. Mengutip hasil riset Sharing Vision, potensi pasar telekomunikasi kian meningkat tercermin dari hasil survei bahwa belanja komunikasi masyarakat saat ini berkisar 10-15 persen dari penghasilan per bulan. Jika merujuk data Badan Pusat Statistik pendapatan per kapita pada 2007 sebesar 1.946 dolar AS, dengan kurs Rp9.500 per dolar AS maka pendapatan rata-rata penduduk mencapai Rp18,5 juta per tahun. Dengan itu dapat dihitung bahwa belanja komunikasi masyarakat meliputi telepon tetap (kabel), telepon seluler, maupun internet bisa mencapai sekitar Rp2,7 juta per penduduk/tahun. Demikian halnya total belanja komunikasi seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 230 juta orang, diperkirakan bisa mencapai sekitar Rp500 triliun setiap tahun. Belum lagi biaya pembangunan infrastruktur operator telekomunikasi yang setiap tahun dianggarkan operator telekomunikasi untuk investasi yang mencapai total sekitar Rp60-80 triliun setiap tahun. Menurut Dirjen Postel Depkominfo, Basuki Yusuf Iskandar, setiap pertumbuhan investasi satu persen di sektor ICT akan memberi dampak berantai terhadap kegiatan ekonomi, sehingga mampu memberikan kontribusi yang cukup tinggi bagi pertumbuhan ekonomi nasional. "Untuk itu perlu kemampuan meningkatkan daya saing, terutama menghadapi tantangan global dengan berpijak pada azas kemandirian dan kepastian hukum," ujar Basuki. Merujuk pada besarnya potensi ekonomi yang dapat digerakkan dan demi menangkap peluang usaha di sektor telekomunikasi ini Menkominfo Muhammad Nuh pun meminta pelaku industri di bidang ICT meningkatkan penggunaan kandungan lokal (local content) perangkat hingga minimal 35 persen dari saat ini yang mencapai sekitar 20-25 persen. "Peningkatan kandungan lokal industri ICT diharapkan juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional," kata Muhamad Nuh. Ia menjelaskan, pemerintah sadar betul bahwa dibutuhkan upaya menyeluruh memproteksi produk-produk lokal guna mendungkung keberlanjutan sektor ICT di tanah air. Meskipun realisasi investasi baik PMA maupun PMDN di sektor ICT masih relatif kecil dibanding sektor-sektor lainnya, namun sektor ICT menjanjikan benefit yang luar biasa besar bagi pelaku usaha maupun bagi pemerintah. Era konvergensi tersebut memungkinkan hampir semua masyarakat dapat menikmati berbagai layanan seperti siaran televisi melalui telepon seluler, menonton televisi melalui jaringan internet, maupun melakukan transaksi tidak lagi secara konvensional. Persaingan sengit Tahun 2008 boleh dikatakan sebagai masa yang sangat berat bagi industri telekomunikasi karena persaingan antar operator yang kian sengit. Pada tahun 2008 itu pula banyak catatan penting yang menghiasi wajah industri telekomunikasi tanah air. Registrasi data pengguna atau pelanggan telepon mulai diberlakukan, penurunan tarif interkoneksi yang ditetapkan regulator mengimplikasikan penurunan tarif layanan komunikasi. Akibatnya, demi merebut dan menjaring minat konsumen, operator melakukan perang tarif meskipun dinilai masih dalam tahap yang masih wajar. Iklan operator memberi tarif lebih murah dilancarkan, bahkan sangat menggiurkan konsumen karena ada yang menawarkan tarif telepon gratis meski dengan syarat dan ketentuan berlaku. Hasilnya, pangsa pasar pelanggan operator telekomunikasi berubah, ada yang dominan namun ada juga yang sama sekali tidak bisa bergerak, bahkan ada operator seperti Indosat tidak mampu mengembangkan layanan telepon tetap nirkabel (StarOne), padahal telah mengantongi lisensi tertentu. Melihat persaingan yang kian menjurus "saling memakan" itu, Ketua Komite Tetap Bidang Telekomunikasi Kadin Indonesia, Anindya Bakrie memperkirakan akan terjadi konsolidasi seperti merger dan akuisisi antar operator karena dalam mengembangkan infrastruktur layanan dibutuhkan dana atau belanja modal yang tidak kecil, industri ini juga dituntut semakin efisien di tengah terbatasnya lisensi frekuensi. Pada tahun 2008, industri telekomunikasi juga dikejutkan keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bahwa enam operator enam operator telepon seluler PT Excelcomindo Pratama Tbk (XL), PT Telkomsel, PT Telkom Tbk, PT Bakrie Telecom Tbk, PT Mobile-8 Telecom, dan PT Smart Telecom terbukti melakukan pelanggaran persaingan usaha tidak sehat dengan melakukan kartel layanan pesan singkat (SMS) periode tahun 2004 sampai 1 April 2008. Menurut Basuki, keputusan KPPU atas tuduhan praktik kartel SMS itu harus dihormati, dan keputusan itu merupakan pembelajaran demi terwujudnya industri telekomunikasi yang kompetitif dan tarif layanan khususnya SMS yang lebih terjangkau. Sesungguhnya, tegas Basuki, dalam memberikan layanan operator sudah memasuki kompetisi yang sehat, terlihat dari tarif yang diberlakukan operator yang mengacu pada mekanisme pasar. Selain itu, industri telekomunikasi pada 2008 juga dikejutkan dengan hengkangnya Singapore Technologies Telemedia (STT) yang merupakan bagian dari Temasek Singapura dari Indosat. Kepemilikan saham operator telekomunikasi ke dua terbesar di Indonesia itu pun sesaat beralih ke Qatar Telecom sebagai pemegang saham mayoritas yang akan menguasai hingga 65 persen. Makin besarnya jumlah kepemilikan asing di industri telekomunikasi semakin dilematis. Di satu sisi butuh investasi besar karena industri ini sangat besar, namun di sisi lain penguasaan saham asing sangat terkait dengan masalah nasionalisme karena telekomunikasi termasuk industri yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pengamat ekonomi dari INDEF, Iman Sugema mengatakan kepemilikan asing seharusnya dibatasi maksimal 20 persen dengan kebijakan "single presence policy" atau hanya boleh memiliki saham pada satu perusahaan telekomunikasi. Hal ini katanya, demi menghindari monopoli karena industri telekomunikasi menyangkut pelayanan publik. Menurutnya, jika terjadi monopoli maka setiap keputusan yang diambil akan tergantung kepada kepentingan bisnis pemegang saham atau bukan untuk kepentingan publik. Tantangan 2009 Memasuki tahun 2009, sebagian besar kalangan masih memperkirakan bahwa industri telekomunikasi menjadi sektor yang masih atraktif meski dibayang-bayangi dampak krisis keuangan global. Menurut shio, tahun 2009 adalah Tahun Kerbau, jika dikaitkan dengan industri telekomunikasi ibarat Kerbau, bahwa industri ini tetap merupakan salah satu yang terbesar namun pertumbuhannya akan bergerak lambat. Salah satu proyek pemerintah dalam mengembangkan ICT di tanah air adalah pembangunan Palapa Ring dan Universal Service Obligation (USO) yang diharapkan rampung pada tahun 2009 dan 2010. Proyek Palapa Ring merupakan proyek pembangunan jaringan serat optik nasional yang akan menjangkau 33 provinsi, 440 kota/kabupaten di seluruh Indonesia. Direncanakan proyek ini akan menggunakan kabel laut sepanjang 35.280 kilometer, sedangkan kabel di daratan sejauh 21.807 km. Proyek ini bertujuan menyediakan infrastruktur telekomunikasi berkapasitas besar dan terpadu di seluruh Indonesia. Tahap pertama pelaksanaan proyek akan dilakukan di kawasan Indonesia Timur. Sedangkan proyek USO yang dijadwalkan rampung pada tahun 2009 ini adalah kewajiban pembangunan infrastruktur telekomunikai dasar di setidaknya 18.000 desa terpencil, daerah perbatasan, hingga pulau terluar Indonesia. Kedua proyek ini tujuannya dipastikan sangat mulia, karena menjamin membuka keterisolasian suatu daerah, hingga memberikan layanan komunikasi yang sangat handal ke depan. Asisten Deputi Telematika dan Utilitas Menko Perekonomian, Eddy Satriya menyatakan, sektor ICT masih memiliki pertumbuhan yang tinggi hingga lima tahun ke depan (2013), dengan catatan pemerintah mampu menelurkan kebijakan (regulasi) yang mendukung industri. "Sektor ICT khususnya subsektor telekomunikasi masih belum "saturated" (jenuh)," kata Eddy. Jika pada 2006 total jumlah pelanggan telepon (tetap, tetap nirkabel, dan seluler) mencapai sekitar 63 juta nomor, pada akhir 2007 mencapai sekitar 85 juta nomor, dan pada akhir tahun 2008 diproyeksikan mencapai 120 juta nomor. Demikian halnya saluran komunikasi melalui teknologi internet juga diperkirakan akan mendorong pertumbuhan sektor ICT, karena fasilitas internet terutama Voice over Internet Protocol (VoIP) dapat menjadi substitusi kebutuhan komunikasi dan informasi. Hal senada diungkapkan pengamat ekonomi Faisal Basri, bahwa sektor telekomunikasi merupakan salah satu sektor yang memiliki karakteristik tersendiri sehingga pertumbuhannya masih akan berlanjut. "Telekomunikasi termasuk subsektor yang "disemuti" investor khususnya asing," kata Faisal. Namun, belum lagi melangkah ke 2009, perekonomian nasional dihadapkan pada kekhawatiran dampak krisis keuangan global yang berasal dari Amerika Serikat menjalar ke Eropa dan menimpa sejumlah negara di Asia. Hingga kini, memang belum ada operator telekomunikasi di Indonesia yang menyatakan mengurangi alokasi investasi pada tahun 2009 untuk mengembangkan layanan dan pembangunan infrastruktur. Akan tetapi melihat kemungkinan dampak dari krisis tersebut akan menyentuh sektor telekomunikasi di Indonesia, Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) memproyeksikan pertumbuhan pelanggan pada 2009 akan menurun menjadi sekitar 30 persen, dari pertumbuhan tahun 2008 sekitar 40 persen. Meski begitu, Dirjen Postel Basuki Yusuf Iskandar memastikan industri telekomunkasi di dalam negeri masih tumbuh seiring aktifnya para vendor telekomunikasi mengembangkan usahanya. Saat meresmikan pembangunan menara radio pemancar (BTS) ke 15.300 milik PT Excelcomindo Prtama Tbk (XL) di Muara Sipongi, Sumatera Utara, baru-baru ini, Basuki menjelaskan, pasar telekomunikasi masih sangat menjanjikan. Karena itu semua vendor diminta berlomba-lomba membuat terobosan baru untuk menjaring pelanggan apalagi daerah-daerah yang terpencil masih banyak yang belum terjamah. Ia berpendapat, besarnya pertumbuhan industri hingga kini masih belum terganggu gejolak krisis keuangan global yang terjadi akhir-akhir ini, karena industri telekomunikasi merupakan kebutuhan dasar masyarakat. Karena itu, lanjut Basuki, dirinya memberi apresiasi besar terhadap langkah XL yang masuk ke daerah terpencil untuk memberikan peningkatan pelayanan kepada masyarakat di bidang komunikasi. "Kami harus mendukung XL yang mau masuk ke daerah terisolir. Ini pantas dihargai karena membuka diri terhadap kebutuhan telekomunikasi yang mendasar bagi masyarakat luas. Selayaknya jejak ini harus diikuti operator lainya," katanya. Menanggapi hal itu, Presiden Direktur XL Hasnul Suhaimi mengatakan, XL tetap berusaha memberikan pelayanan lebih baik kepada masyarakat dengan masuk ke wilayah terpencil dengan harga murah sehingga bisa saling berhubungan melalui komunikasi. "Masuk ke daerah remote merupakan salah satu strategi perusahaan mengatasi kemungkinan perlambatan industri. Dengan demikian, kami tetap optimis pangsa pasar kami masih tumbuh sekalipun ada hambatan seperti gejolak krisis keuangan global," ujarnya. Sejatinya, optimisme operator mampu menghadapi krisis keuangan global tersebut harus disikapi pemerintah dengan memperhatikan setiap kepentingan operator tanpa kecuali untuk suatu kepentingan yang sama. Selain itu, pemerintah diharapkan mengatur isu-isu kebijakan yang bersifat strategis yang tidak menghambat perkembangan industri itu sendiri, agar kreativitas operator tetap dapat berkembang. Sedangkan kebijakan-kebijakan yang berpotensi menghambat perkembangan industri telekomunikasi sebaiknya dihindari, serta memberikan insentif kepada operator yang telah memenuhi kewajibannya. (*)

Oleh Oleh Roike Sinaga
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2008