Jakarta (ANTARA) - Pengamat ekonomi energi dari UGM Fahmy Radhi menyebutkan penetapan harga gas perlu kajian dan perhitungan yang cermat agar memberikan dampak positif pada industri.

"Pertanyaannya, apakah penetapan harga gas industri sebesar enam dolar AS per MMBTU  benar-benar akan meningkatkan daya saing industri sehingga memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi? Untuk menjawab pertanyaan itu memang dibutuhkan kajian mendalam, perhitungan cermat dan simulasi," katanya di Jakarta, Jumat.

Baca juga: Pengamat nilai harga gas industri masih mahal

Fahmy menjelaskan total volume konsumsi gas pada Desember 2019 mencapai sebesar 827,4 MMBTU.

Dari total itu, konsumen industri mencapai 445,80 MMBTU atau 53,89 persen dengan konsumen terbesar adalah kimia sebesar 120,2 MMBTU atau 14,53 persen untuk 322 pelanggan.

Sedangkan konsumsi nonindustri sebesar 381 MMBTU atau 46,11 persen, dengan jumlah pelanggan terbesar PT PLN sebesar 340,6 MMBTU atau 41,05 persen.

Dari gambaran awal tersebut, utamanya terkait besaran volume konsumsi gas industri, penetapan harga gas industri sesungguhnya belum menjamin akan meningkatkan daya saing industri.

Pasalnya, volume konsumsi per konsumen pada industri, utamanya konsumen industri kimia, relatif masih kecil.

Kalau benar bahwa penetapan harga gas industri sebesar enam dolar AS per MMBTU tidak menaikkan daya saing industri, maka  kebijakan harga gas itu justru hanya membebani pemerintah dan industri gas, baik di hulu, maupun tengah (midstream).

"Oleh karena itu, perlu kajian mendalam, perhitungan cermat dan simulasi sebelum memutuskan kebijakan harga gas industri," kata Fahmy Radhi.

Baca juga: Pengamat: Penurunan harga gas jangan matikan industri "midstream"
Baca juga: Tertunda 14 tahun, Jaringan pipa gas Cirebon-Semarang mulai dibangun

Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan
Editor: Kelik Dewanto
COPYRIGHT © ANTARA 2020