Oleh Virna Puspa Setyorini Jakarta (ANTARA News) - Krisis keuangan dunia yang saat ini sedang terjadi membawa perubahan di berbagai bidang, tidak terkecuali perikanan. Saat harga minyak dunia melambung hingga menembus harga 140 dolar Amerika Serikat (AS) per barel dan membuat pemerintah harus menaikan harga solar, pengusaha sektor perikanan hingga nelayan kecil ikut "terhempas badai". Kapal mereka tak berlayar jauh akibat harga solar yang mencapai Rp5.500 per liter. Ini membuat harga ikan ikut melambung karena hasil tangkapan semakin sedikit. Beralih menggunakan minyak tanah pun tak menolong, apalagi setelah pemerintah menjalankan program konversi ke gas elpiji. Minyak tanah semakin langka dan mahal, terkadang jauh lebih mahal dari harga solar. Masalah kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) di "Solar Packed Dealer Nelayan" (SPDN) menjadi cerita lain yang harus dihadapi nelayan. Kuota yang seharusnya dipasok PT Pertamina (Persero) ke setiap SPDN selalu tidak terpenuhi. Berdasar hasil perhitungan BHP Migas, kebutuhan BBM jenis solar dan premium bersubsidi untuk mendukung usaha perikanan tahun 2009 mencapai 2.516.976 kilo liter (KL) per tahun. Namun, kemungkinan pasokannya akan kurang sekitar 1,52 juta KL karena biasanya pasokannya hanya akan mencapai 1 juta KL atau 3,57 persen dari total BBM bersubsidi yang disediakan pemerintah. Sayangnya ketika para nelayan kecil hendak membeli solar di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) menggunakan jerigen, mereka sering kali dianggap sebagai penimbun. Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi, usai meresmikan Unit Pelaksana Teknis milik Ditjen Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) di Pontinak meminta agar para penegak hukum bertindak lebih lunak kepada para nelayan kecil yang terpaksa memberi solar dengan jerigen di SaPBU. "Saya pikir nelayan kecil beli solar pakai jerigen kecil juga tidak mungkin bisa buat beli rumah, itu cuma buat melaut saja. Tapi kalau untuk yang `besar-besar` yang merugikan kita, silahkan diproses," tegas Freddy. Masih kurangnya jumlah SPDN di wilayah Indonesia juga menjadi masalah lain. Menurut Freddy, idealnya setiap provinsi harus memiliki 10 hingga 20 SPDN. Saat ini, baru ada 225 unit SPDN yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia. Ia mengatakan seharusnya di tahun 2009 ini total SPDN sudah mencapai 400 unit, tetapi karena keterbatasan anggaran maka jumlahnya hanya akan bertambah menjadi 308 unit saja. Angin barat Selain faktor kenaikan harga BBM, sulitnya memperoleh solar dan minyak tanah, dan permainan tengkulak/bakul ikan, faktor lain yang secara alami membuat harga ikan di pasaran menjadi mahal adalah musim. Memasuki bulan November, nelayan menyebutnya sebagai masa paceklik karena telah memasuki musim angin barat. Musim angin barat biasanya akan berlangsung hingga bulan Februari atau Maret. Pada bulan-bulan ini harga ikan melambung karena selain jumlah ikan yang sedikit juga karena faktor cuaca yang tidak mendukung. Tingginya gelombang memaksa nelayan tidak melaut. Biasanya, menurut Ketua Serikat Nelayan Tradisional, Kajidin, para nelayan memanfaatkannya untuk memperbaiki kapal atau sekedar mengecat kapalnya. Kajidin mengakui bahwa, penurunan harga solar merupakan berita menggembirakan bagi nelayan, tetapi masalahnya sebelum harga solar diturunkan para tengkulak/bakul ikan justru telah menaikan harga jual ikan ke konsumen tetapi membeli dengan harga lama dari nelayan. "Bayangkan harga ikan tengiri biasanya Rp17 ribu per kilogram dinaikan dulu jadi Rp20 ribu per kilogram. Daging rajungan saja yang tadinya masih boleh Rp20 ribu sekarang bisa Rp40 ribu per kilogram," ujar dia. Tidak heran, Gunadi pemilik tenda makan seafood di Bekasi mengatakan untuk beberapa menu seperti kepiting dan ikan bakar harga jualnya sedikit dinaikan Rp5.000 hingga Rp15.000. Sementara untuk menu kerang, cumi, maupun udang, jumlahnya dikurangi. Selain barangnya yang langka, Gunadi mengatakan, harganya pun cukup mahal, terutama untuk ikan, cumi, dan kepiting. Naik daun Bagi kebanyakan kalangan krisis keuangan global bukan lah hal yang menggembirakan. Namun, momen tersebut justru menyenangkan bagi pembudidaya. Pasalnya, konsumen di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang, mulai beralih mengkonsumsi ikan murah. Menurut Dirjen Perikanan Budidaya DKP, Made Nurjana, krisis membuat konsumen asing menjadi selektif dan memilih melaksanakan hidup sehat. "Kalau dulu mereka senang mengkonsumsi ikan-ikan mahal sekarang mereka beralih ke ikan-ikan murah seperti lele, nila, patin, belut," ujar dia. Jika sebelumnya mereka mengkonsumsi seafood untuk gengsi, maka mereka kini mengonsumsi semata-mata untuk kesehatan, ujar Made. Hal tersebut terlihat dari permintaan ukuran udang yang mengecil. "Kalau dulu satu kilogram mereka minta yang isi 75, sekarang mereka minta udang yang isi 100 ekor. Berarti ukurannya diperkecil,dan harganya lebih murah," kata Made. Atas alasan itu lah perikanan budidaya kini sedang naik daun. Harga ikan murah kini menjadi relatif mahal, selain karena ikan laut yang langka dan mahal, juga karena produk perikanan budidaya mulai diekspor. Sementara, Ketua Forum Peningkatan Konsumsi Ikan, Adi Surya mengatakan, meningkatnya harga ikan baik ikan laut maupun budidaya tentu merupakan hal menggembirakan bagi nelayan dan pembudidaya. Namun, ia mengatakan, demi pemenuhan nilai gizi dan ketahanan pangan nasional konsumsi ikan masyarakat per kapita per tahun tetap harus dijaga dan ditingkatkan. Pengurangan masa pembesaran ikan budidaya diyakininya dapat membuat harga ikan menjadi tidak terlalu mahal. "Kalau ukuran ikan dibuat tidak terlalu besarkan berarti jumlah pakan pun tidak terlalu banyak, sehingga biaya produksinya dapat ditekan. Dengan demikian harga jadi tidak terlalu mahal," ujar Adi. Namun tampaknya cara tersebut belum mampu membuat harga ikan turun, justru harga ikan beberapa minggu terakhir menjadi semakin mahal. Diah (52), seorang ibu rumah tangga asal Bekasi, hampir setiap hari mengeluh karena dengan uang belanja Rp20 ribu kini belum mendapatkan lauk mulai dari ayam, daging, maupun ikan. "Kalau dulu harga ikan lele atau ikan mas masih bisa Rp7.000 sampai Rp8.000 per kilogram, sekarang bisa sampai Rp20.000. Dulu harga ikan tambak itu kan murah, kita masih bisa ganti-ganti lauk setiap hari, sekarang protein cuma dari tempe sama tahu karena telur juga mahal," ujar Diah. Kondisi ini, menurut dia, semakin memberatkan masyarakat terutama mereka yang berpenghasilan rendah, karena juga harus menghadapi kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok lainnya seperti beras, sayuran, gula, minyak sayur, buah-buahan. Bagi masyarakat kecil dan menengah asupan gizi empat sehat lima sempurna kini merupakan barang mewah. Untuk memenuhi kategori empat sehat saja masyarakat harus merogoh kocek dalam-dalam, bahkan terkadang mereka hanya dapat memenuhi kebutuhan nasi dan sayur tanpa lauk dan buah. (*)

Pewarta: priya
Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2009