Jakarta (ANTARA News) - Andi orang Jawa asli, jebolan pesantren, fasih berbahasa Arab dan Inggris, selain tentu saja Indonesia dan bahasa Ibu. Sifat pemalu tak membuat kharismanya pudar di mata kaum Hawa.

Barangkali ini penggambaran cukup pas tentang pemuda tersebut, yang dikisahkan penulis Qaris Tajudin dalam novel berjudul Mahasati, terbitan AKOER, Mei 2007.

Penjara Guantanamo yang baru-baru ini resmi ditutup oleh Presiden terpilih Barack Husein Obama, setelah sempat dihidupkan kembali ketika Administrasi Washington menetapkan perang global melawan terorisme, secara manis ditempatkan sebagai tempat paling akhir dari perjalanan hifup Andi, dalam format penuturan interogasi pesakitan.

Tali asmaranya dengan teman masa kecil, Larasati, terjalin kembali setelah pertemuan mereka di udik, saat menghadiri pemakaman seorang sahabat.

Duduk bersimpuh di samping pusara Joko menjadi awal cerita Mahasati.

Larasati adalah cinta mati Andi. Kendati wanita pelaku industri model dan fashion itu sempat terjerat "monyet beristri" dan dikarunia seorang putri tanpa pengakuan.

Ke-tomboy-an Sati, panggilan yang lebih disukai Larasati, merupakan kendala tersendiri yang membuat Andi kecut hati untuk berterus terang kepada orang tuanya yang santri.

Tapi, ketakutan itu justru yang membuatnya menyesal seumur hidup, dan membawa dirinya memasuki perantauan hingga ke Afghanistan.

Kisah Andi dalam Mahasati disusun secara seling-seling. Bab ganjil menuturkan kisah perjalanannya, sementara bab genap merupakan rekaman interogasi terhadap dirinya oleh Letnan Lucy Wong, seorang tentara AS keturunan China yang diyakini mampu membuat Andi membuka mulut karena kedekatan ras Asia.

Mereka yang tidak terbiasa memecah konsentrasi disarankan untuk terlebih dahulu membaca habis bab-bab yang ganjil.

Buku Mahasati bersampul warna hitam, di tengahnya diberi gambar dua lengan dengan tangan sedang mengepal dan terikat kain merah.

Dari sisi ini, Qaris Tajudin tampaknya ingin memberi kesan agar pembaca memahami Andi sebagai sosok yang terperangkap cinta dan rasa berdosa, ketimbang jalan hidupnya yang membuat ia disangka salah seorang antek Usamah bin Ladin atau penguasa Taliban.

Meski bayangan Sati, yang tewas akibat OD obat penanang saat dihimpit kegalauan lantaran putrinya direbut sang bapak biologis, tak mampu dienyahkannya, Andi sempat hampir jatuh dalam pelukan mahasiswi berdarah Yahudi, anak soerang rekanan gembong mafia Sisilia. Ia kemudian juga nekad menikahi putri kepala rombongan masyarakat nomaden di Afghanistan.

Namun, seperti ramalan seorang wanita tua cenayang di Regusa, Andi tak berlama-lama menikmati sisi indah dalam kehidupannya.

Lewat secangkir kopi, cenayang itu menyatakan Andi adalah Manlio, pria gagah yang selalu mengarungi lautan cinta tanpa pernah bisa berlabuh.

"Alasan Kebencian"

Keputusan AS menghidupkan kembali Penjara Guantanamo untu`k menahan orang-orang yang diduga pelaku atau terlibat kegiatan terorsime banyak dikecam pihak-pihak pro HAM.

Dalam kisah Andi, penulis mengungkap sedikit tentang kondisi penjara tersebut, termasuk sejumlah cara penyiksaan yang dilakukan untuk mengorek keterangan dari para tahanan.

Dalam babak interogasi terhadap Andi, digambarkan bahwa penguasa penjara hanya ingin mendapatkan jawaban dari pertanyaan tunggal, "Mengapa Anda dan kelompok Anda begitu membenci kami, bangsa Amerika?"

Andi, yang akhirnya mau berbicara, justru balik bertanya, mengapa Amerika Serikat tidak mau berpikir tentang alasan para pembencinya?

Terlibatkah Andi dalam perang AS melawan Terorisme?

Jawabannya ada dalam kisah pemuda tersebut, yang ditulis setebal 390 halaman, tidak termasuk bagian pengantar dan catatan kaki.

Lebih dari itu, Mahasati cukup banyak memberi informasi tentang kehidupan masyarakat di Tunisia, Regusa, Pakistan, dan Afghanistan, paling tidak di tempat-tempat yang disinggahi Andi dalam perantauannya, sebelum terhenti di Guantanamo akibat pneumonia berat.(*)

Pewarta: anton
Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2009