Jakarta (ANTARA) - Tim pengembang mata uang kripto menciptakan CoronaCoin yang terinspirasi epidemik virus corona, namun memicu tanggapan dari komunitas di dunia maya karena menganggap hal itu gegabah dan tidak sensitif.

Pasokan CoronaCoin, dikutip dari Reuters, akan berkurang setiap dua hari sekali berdasarkan jumlah kasus baru virus corona. Artinya harga CoronaCoin akan semakin naik jika semakin banyak orang yang meninggal karena virus ini.

Jumlah total CoronaCoin yang beredar disesuaikan dengan populasi manusia di dunia.

Koin akan hangus setiap 48 jam, dua hari, merujuk pada jumlah kasus infeksi atau orang yang meninggal.

Sunny Kemp, kepada Reuters mengaku sebagai salah seorang pengembang CoronaCoin menjelaskan sistem hangus koin tersebut.

"Beberapa orang berspekulasi besar, akan hangus berdasarkan sebaran virus. Jadi, mereka berinvestasi," kata Kemp.

Baca juga: Vodafone keluar dari proyek mata uang kripto Facebook

Baca juga: Mata uang kripto Libra Facebook gagal penuhi persyaratan


Kemp mengatakan ada tujuh orang dalam tim CoronaCoin dan masih akan bertambah. Dia tidak mau menyebutkan siapa saja yang terlibat, namun kebanyakan dari Eropa.

Sekitar 20 persen pasokan CoronaCoin akan didonasikan setiap bulan ke Palang Merah.

Beberapa pengguna media sosial Reddit mengkritik koin ini, yang menggunakan wabah penyakit sebagai mata uang kripto.

"Terus terang, ini tidak bermoral," kata salah seorang pengguna.

Pengguna lainnya mengatakan kurang lebih "tidak ada hal yang baik".

Menjawab kritik tersebut, Kemp mengatakan "Saat ini ada banyak masalah yang berkaitan dengan pandemik dari WHO. Apa bedanya?".

Wabah virus Corona yang semula berada di China, menyebar ke negara-negara lain. Laporan dari WHO, lebih dari 82.000 orang terinfeksi, angka kematian lebih dari 2.700 di China dan 57 di 46 negara lainnya.

Baca juga: Tokocrypto siap "tancap gas" setelah terdaftar di Bappebti

Baca juga: Facebook yakin dukungan untuk Libra terus mengalir

Baca juga: Pendukung mata uang kripto Facebook Libra mundur?

Pewarta: Natisha Andarningtyas
Editor: Alviansyah Pasaribu
COPYRIGHT © ANTARA 2020