Padang (ANTARA News) - Pengamat Ekonomi Pembangunan dari Universitas Andalas (Unand), Prof. Muchlis Muchtar berpendapat, bahwa Indonesia belum memungkinkan untuk ekspor beras kalau baru sebatas swasembada, karena sangat riskan dan dapat menggangu persedian dalam negeri.

"Kita baru bisa ekspor beras bila terjadi kenaikan produksi lebih dari 10 persen dari kebutuhan dalam negeri. Kerena ketahanan pangan baru aman, apabila Indonesia sudah punya buffer dan iron stok sebesar 10 persen," kata Muchlis Muchtar, di Padang, Senin.

Dia mengkritisi, banyaknya pernyataan yang dikeluarkan pejabat negara mulai dari tingkat nasional hingga ke daerah, termasuk elit politik seperti ketua-ketua partai politik, bahwa produksi beras nasional pada 2008 meningkat hampir 1,5 juta ton, sehingga Indonesia pada 2009 swasembada beras dan bisa ekspor.

Namun, menurut Muchlis, melihat kondisi obyektif faktor mendorong peningkatan produksi beras nasional, hanya konsumsi politik mejelang Pemilu mendatang.

Terkait, saat ini berbagai faktor pendukung menuju peningkatan produksi padi/beras masih dihadapkan berbagai persoalan, seperti balai-balai penelitian untuk melahirkan bibit unggul boleh dikatakan hampir tidak berfungsi, apalagi sejak otonomi daerah.


Banyak bohongnya

Bila ada temuan-temuan bibit hibrida sebagian besar diimprove oleh swasta, juga kasusnya banyak "bohongnya" seperti kasus di Jawa Tengah.

Menurut guru besar Fakultas Pertanian Unand itu, ada lima komponen yang sangat menentukan produksi, yakni bibit, ketersedian air (pengairan), pupuk, obat-obatan/pertisida dan pemeliharan (pengelolaan tanah).

Selain itu, juga ada faktor eksternal yang sangat penting peranannya dalam mendorong peningkatan produksi, yaitu peranan tenaga penyuluh dan ketersedian kredit usaha tani yang mudah dan murah.

Apalagi, katanya, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir iklim di Indonesia sangat tidak menentu sebagai akibat global warning, dampaknya menggangu ketersediaan air (keringan/bajir).

Di samping itu pembangunan waduk atau irigasi hampir tidak ada, meskipun ada pembangunannya lambat karena butuh biaya besar.

Selanjutnya pupuk yang peranannya dalam peningkatan produksi padai 20 - 30 persen, katanya, tapi dalam tiga tahun terakhir petani dihadapkan dengan harga tinggi, walau pun ada subsidi oleh pemerintah tetapi sangat sulit di dapat.

Dia menilai, selama ini faktor spekulasi dan pola distribusi yang salah dan telah dilakukan berbagai upaya, petani tetap juga ada yang menjerit untuk mendapatkan pupuk.

"Baru sekarang pemerintah menyadari rupanya produksi pupuk dalam negeri bedara di bawah kebutuhan, sehingga diputuskan mulai 2009 diimpor pupuk sebesar 500 ribu ton dengan anggaran berkisar Rp15 hingga Rp17 triliun," katanya.

Jadi, katanya, berdasarkan analisa faktor-faktor yang mendorong peningkatan produksi padi/beras nasional itu, tentu masih sulit diterima bahwa ada pernyataan produksi padi nasional menuju swasembada.

Bahkan, indikator lain mejelaskan tidak terjadinya peningkatan produksi beras adalah harga yang merupakan cerminan keseimbangan antara suplay dan demand. Bila terjadi perubahan harga, jelas dikarenakan terganggunya keseimbangan tersebut.

"Kita amati harga beras sejak 2008 hingga sekarang cenderung bergerak naik dan puncak pada Januari dan Pebruari 2009. Harga beras sudah hampir dua kali harga yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp4.750/kg untuk beras kelas dua dan bukan super," katanya.

Pemicu kenaikan harga beras di pasaran, tentu tak terlepas juga dari pengaruh terganggunya produksi yang disebabkan cauca, hama dan faktor lainnya.

"Kondisi ini menunjukan tingkat produksi padi/beras kita masih sangat rentan akibat perubahan iklim dan faktor sarana lainnya. Jadi bisa dikatakan produksi beras nasional masih belum posisi swasembada, apalagi over produksi. Hal ini belum bisa dilakukan ekspor," kata Muchlis.(*)

Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2009