Kuala Lumpur (ANTARA News) - Menteri Perdagangan dan Industri (MITI) Malaysia telah melayangkan surat protes kepada menteri perdagangan Indonesia mengenai Permendag no 56 tahun 2008 tentang penetapan lima pelabuhan dan Bandara sebagai pintu masuk lima komoditas impor.

"Lima komoditas ini ialah alas kaki, garmen, produk elektronik, mainan, serta makanan dan minuman. Ke lima komoditas ini hanya boleh masuk ke Indonesia melalui lima pelabuhan dan Bandara," kata atase perdagangan KBRI Kuala Lumpur, Pradnyawati, Jum`at.

Lima pelabuhan yang menurut Permendag menjadi pintu masuk lima komoditas itu adalah Tanjung Priok, Tanjung Perak, Belawan, dan Tanjung Emas, dan pelabuhan Makasar, kemudian Bandara Soekarno-Hatta Tangerang, Juanda Surabaya, Ahmad Yani Semarang, Polonia Medan, dan Bandara Sultan Hasanudin Makassar.

"Kami mendengar bukan hanya Malaysia tapi beberapa negara lain juga protes tentang Permendag ini. Katanya melanggar WTO. Kami menolak tuduhan itu karena pada prinsipnya Indonesia masih membuka peluang impor tapi harus lewat lima pelabuhan dan Bandara itu," kata Pradnyawati.

Penerbitan Permendag No 56 tahun 2008 itu disebabkan karena serbuan lima produk itu ke Indonesia, baik legal maupun ilegal (penyelundupan). Sebelumnya, ke lima komoditas itu dapat masuk ke 141 pelabuhan.

"Kami sudah tentu harus melindungi konsumen. Perlu dipahami juga luas nya pintu masuk Indonesia dan kondisi geografis perlu adanya penataan pintu masuk impor. Permendag ini pun hanya berlaku hingga tahun 2010. Oleh sebab itu, departemen perdagangan dan instansi terkait akan menata kembali sistem impor lima komoditas perdagangan tersebut," tambah atase itu.

Protes

Protes kementerian perdagangan dan industri Malaysia terhadap peraturan Indonesia itu, selain karena banyak komoditas yang akhirnya sulit masuk Indonesia, juga perdagangan lintas batas di perbatasan akan terhambat.

"Dengan aturan itu, ekspor lima komoditas itu dari Sabah dan Sawarak ke Kalimantan harus lewat pelabuhan Belawan Medan atau Tanjung Priok. Begitulah protes Malaysia. Namun menteri perdagangan Marie Pangestu sudah juga menjawab secara tertulis kepada menteri perdagangan dan industri Malaysia Muhyiddin Yassin bahwa untuk perdagangan perbatasan dikecualikan," katanya.

Tapi masalah perdagangan perbatasan antara Indonesia-Malaysia juga banyak masalah. Indonesia sudah berulangkali minta kepada Malaysia untuk merevisi BTA (barter trade agreement), namun tidak ditanggapi. BTA yang ada itu merupakan kesepakatan tahun 1970an yang sudah tidak layak lagi untuk kondisi saat ini.

"Arus barang yang dibebaskan pajak pada perdagangan perbatasan menurut BTA itu maksimal 600 ringgit (Rp1,8 juta). Pas (kartu) pedagang perbatasan telah banyak disalahgunakan. Banyak pedagang besar gunakan atau mengaku pas pedagang perbatasan untuk memasukan komoditi Malaysia dalam jumlah yang besar tanpa kena pajak." ungkap Pradnyawati.

Oleh sebab itu, banyak produk makanan dan minuman kaleng Malaysia membanjiri pasar-pasar di Kalimantan dan Sumatera. Bahkan kini sudah membanjiri pulau Jawa.

"Kami hingga saat ini terus mendesak pemerintah Malaysia untuk berunding dan merevisi barter trade agreement," katanya.
(*)

Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2009