Jakarta, (ANTARA News) - Pendiri Pondok Pesantren Islam Al Mu`min di Ngruki, Sukoharjo, Jateng Ustadz Abu Bakar Ba`asyir minta praktik kawin siri atau nikah di bawah tangan dihentikan karena cara atau bentuk perkawinan itu dapat menimbulkan fitnah dan merugikan kedua fihak dikemudian hari.

"Sebaiknya praktik nikah siri hendaknya dihapus saja," kata Ba`asyir di Jakarta, Senin ketika ditanya seputar maraknya nikah siri yang dilakukan para selebritis di tanah air.

"Nikah siri atau nikah di bawah tangan dan tak tercatat di Kantor Urusa Agama (KAU) belakangan ini dianggap sah menurut agama. Hal demikian dapat menimbulkan fitnah," katanya.

Dia mengatakan, pelaku nikah siri menempuh cara tersebut karena pernikahannya tak ingin diketahui orang banyak, padahal dalam pernikahan ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi antara lain diketahui orang banyak.

Ba`asyir mengatakan, jika seseorang berani untuk nikah mengapa takut untuk diketahui banyak orang. "Itu namanya pengecut. Pemerintah agar segera mengambil peran agar nikah siri atau perkawinan dibawah tangan segera dihentikan," katanya.

Terkait dengan Rancangan Undang-Undang Hukum Materil Peradilan Agama (RUU HMPA) yang memasukkan agar semua bentuk perkawinan didaftar ke KUA, ia menegaskan tak setuju.

"Bukan soal didaftar atau tidak, tapi karena Al Quran tak memerintahkan demikian. Jika seseorang hendak berpoligami, maka hendaknya yang bersangkutan punya itikad baik, yaitu bersikap adil kepada isteri-isterinya," kata Ba'asyir.

Ia tidak setuju jika pria yang ingin menambah isteri perlu izin dari peradilan agama. "Ini tak perlu. Cukup dari isteri dengan ketentuan yang bersangkutan sanggup bersikap adil dalam pengertian lahiriah," katanya.

"Jika seorang tak berani adil kepada isterinya maka sebaiknya tak usah nikah lebih dari satu kali ," katanya.

Pada bagian lain, Ba'asyir mengemukakan dirinya setuju dengan RUU HMPA yang mensyaratkan bagi orang asing jika hendak nikah perempuan Indonesia harus memberikan jaminan berupa bank garansi.

"Dengan cara itu wanita Indonsia tak diperlakukan seenaknya," kata Ba'asyir.

Departemen Agama (Depag) kini mempersiapkan pengajuan Rancangan Undang-Undang Materil Peradilan Agama (HMPA) guna melengkapi Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, sehingga hakim dalam memutus perkara yang berkaitan dengan perkawinan punya pegangan kuat.

Selama ini hakim berpegang pada kompilasi hukum agama dalam memutuskan perkara yang berkaitan dengan perkawinan, perceraian dan hal lainnya yang berkaitan dengan masalah keluarga.(*)

Pewarta: adit
Editor: Aditia Maruli Radja
COPYRIGHT © ANTARA 2009