Jakarta (ANTARA News) - Di tengah seretnya likuiditas global dan lokal persaingan dalam mencari dana terus berlangsung baik dilakukan pemerintah maupun perusahaan-perusahaan swasta (korporasi).

Salah satu instrumen untuk menghimpun dana masyarakat tersebut melalui penerbitan obligasi.

Chief Economist Mandiri, Mirza Adityaswara memperkirakan untuk tahun ini pemerintah akan menerbitkan obligasi sekitar Rp 40,6 triliun, dan dana obligasi ini untuk menutupi sebagian defisit APBN sekitar Rp 132 triliun. Sedangkan perusahaan swasta (korporasi) akan menerbitkan obligasi sekitar Rp 13 triliun.

Meski pemerintah dan swasta berlomba menerbitkan obligasi, namun daya serap pasar terhadap obligasi tersebut masih dipertanyakan, apakah dana masyarakat mampu menyerap Obligasi pemerintah dan swasta tersebut.

"Saya kira daya serap obligasi korporasi masih dipertanyakan, dan saya tidak yakin pasar akan mampu menyerap obligasi korporasi ini. Berbeda dengan obligasi yang diterbitkan pemerintah, berapapun pasokannya akan mampu diserap pasar,"kata Pengamat ekonomi, Avilliani kepada ANTARA di Jakarta Rabu.

Ada dua faktor yang menghadang laju daya serap obligasi korporasi ini. Pertama mereka harus bersaing dengan obligasi pemerintah yang relatif memberikan imbal hasil(yield) yang menjanjikan disamping adanya jaminan penuh dari pemerintah.

Kedua faktor ketidakpastian yang masih menggelayuti perekonomian global dan dalam negeri. "Hal ini juga tercermin dari perdagangan efek di bursa yang masih didominasi oleh investor yang hanya mengharapkan capital gain,"ujarnya.

Karena itu katanya untuk tahun ini banyak perusahaan yang akan kembali lagi ke perbankan untuk mencari dananya, meski sedikit agak mahal dibandingkan dengan menerbitkan obligasi. Ini juga sejalan dengan taget perbankan yang mematok pertumbuhan kredit sekitar 20 persen.

Dia menambahkan kalaupun perusahaan berkeras menerbitkan obligasi, mereka harus berani memberikan tingkat bunga yang lebih besar dari obligasi pemerintah.Karena kalau tidak demikian resikonya tidak laku di pasar, yang menyebabkan harganya terdiskon dan pada akhirnya menimbulkan cost of fund (biaya dana) yang relatif tinggi.

Avi mengatakan imbal hasil obligasi pemerintah dinilai terlalu tinggi. "Ini membuat para investor sangat senang,"ujarnya.

Menurutnya imbal hasil yang tinggi ini membuat suku bunga perbankan enggan bergerak turun, karena banyak dana masyarakat yang lebih suka menanam investasi di obligasi pemerintah dengan imbal hasil 12 persen. "Idealnya imbal hasil itu sekitar 9 sampai 10 persen, dan ini akan memberikan ruang bagi perbankan untuk menurunkan suku bunga pinjamannya,"kata Avi.(*)

Editor: Aditia Maruli Radja
COPYRIGHT © ANTARA 2009