Strasbourg (ANTARA News) - Prancis setuju menerima seorang tawanan dari kamp penjara Teluk Guantanamo di Kuba. Hal itu dikemukakan seiring Presiden AS Barack Obama meminta bantuan negara-negara Eropa untuk menutup fasilitasnya yang terkenal itu.

AFP melaporkan, Presiden Prancis Nicolas Sarkozy, Jumat, mengatakan langkah itu dibicarakan dalam pembicaraannya dengan Obama di Strasbourg dengan Obama.

"Ya kami telah berbicara, ya kami telah setuju" untuk menerima satu tahanan, Sarkozy mengatakan kepada wartawan di Strasbourg, di Prancis timur laut, menjelang pertemuan puncak dua hari di kota itu dan di kota Kehl, Jerman.

Ia mengatakan bahwa jika Washington meminta sekutunya untuk menerima tawanan maka "hal itu akan memungkinkan kamp tersebut untuk ditutup. Jadi, jika kita ingin logis, kami katakan ya".

Negara-negara Uni Eropa secara tetap telah meminta penutupan penjara itu, tempat tawanan "perang melawan teror" ditahan, seringkali tanpa dakwaan atau pemeriksaan pengadilan, serta menyambut baik keputusan Obama untuk menutupnya.

Namun undang-undang nasional jauh berbeda di antara ke 27 negara UE dan mereka sedang berjuang untuk menentukan sikap bersama mengenai cara terbaik untuk membantu.

Sarkozy mengatakan ia telah memikirkan bahwa Guantanamo merupakan penghinaan bagi nilai-nilai AS.

"Kami tidak memerangi terorisme dengan metode teroris, kami memerangi mereka dengan metode demokrasi," katanya.

Ketika berbicara belakangan pada audience mahasiswa, Obama mengakui bahwa penjara itu dan penyiksaan yang terjadi di tempat tersebut merupakan kesalahan.

"Dalam menghadapi terorisme, kita tidak dapat kehlangan penglihatan pada nilai-nilai kita dan siapa kita. Itulah sebabnya mengapa saya akan menutup Guantanamo, itulah mengapa saya membuatnya jelas bahwa kita tidak akan telibat dalam praktek-praktek interogasi tertentu," katanya.

Di Washington, seorang pejabat AS mengatakan Prancis telah mempertimbangkan untuk menerima seorang tahanan Aljazair "karea ada hubungan bersejarah antara Prancis dan Aljazair".

Aljazair adalah bekas jajahan Prancis yang menjamin kemerdekaannya setelah perang mengerikan 1954-1962.

Dua warga Aljazair -- Lakhdar Boumediene (42) dan Saber Lahmar (39) -- telah ditahan di kamp penjara militer AS yang kontroversial itu selama tujuh tahun terakhir.

Mereka adalah bagian dari sekelompok enam warga Aljzair yang tinggal di Bosnia yang ditangkap oleh polisi pada Oktober 2001.

Ketika diiinterogasi oleh Bosnia dan kemudian keterangan mereka dikesampingkan, mereka lalu diserahkan ke pemerintah AS dan termasuk di antara para tahanan pertama yang tiba di Guantanamo, pada Januari 2002.

Mereka termasuk di antara lima tahanan yang telah bersih untuk dibebaskan November lalu oleh seorang hakim yang memutuskan mereka telah ditahan secara tidak sah.

Boumediene telah mogok makan selama dua tahun terakhir tapi kelompok HAM Amnesty International mengatakan ia telah dipaksa makan.

"Tidak ada keputusan yang diambil berdasar kasus individu," seorang jurubicara Kemlu Prancis mengatakan dan menambahkan bahwa resiko keamanan dan hukum yang akan menampung tahanan akan dievaluasi secara hati-hati.

Pejabat itu juga mengatakan bahwa akan berguna jika AS dapat juga menampung beberapa tahanan yang telah dibebaskan yang tidak dapat pulang ke negara mereka, dengan menyebut contoh tahanan China dari etnik minoritas Muslim Uighur.

Lebih dari 800 pria dan remaja telah melalui Guantanamo sejak bekas presiden AS George W. Bush membukanya 11 Januari 2002 sebagai tujuan tersangka "perang melawan teror" segera sesudah serangan 11 September 2001.

Sebanyak 245 orang masih ditahan di Guantanamo, sekitar 60 dari mereka telah siap untuk dibebaskan. AS diperkirakan akan meminta negara Eropa untuk menampung sejumlah tahanan yang tidak dapat dikirim kembali ke tanah air mereka, tempat mereka mungkin akan menghadapi penangkapan atau yang lebih buruk.

Namun banyak negara UE khawatir pada prospek bahwa beberapa tetangga mereka mungkin akan membolehkan orang yang secara potensial berbahaya ke kawasan Schengen tempat orang dapat bergerak secara bebas tanpa pemeriksaan paspor.(*)

Pewarta: imung
Editor: Aditia Maruli Radja
COPYRIGHT © ANTARA 2009