Jakarta, 10/4 (ANTARA) - Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan Australian Fisheries Management Authority (AFMA) menyelenggarakan diskusi di Kuta, Bali, hari Rabu, 1 April 2009 yang lalu, dalam rangka menindaklanjuti hasil pertemuan sebelumnya tanggal 19 - 20 Maret 2009 yang lalu. Tujuan pertemuan tersebut adalah guna mempersiapkan kegiatan workshop di berbagai daerah untuk mengupayakan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan di perbatasan Indonesia-Australia.

     Diskusi yang diikuti oleh pejabat DKP, AFMA, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Kabupaten terutama dari wilayah Indonesia kawasan Timur tersebut menyepakati untuk menyelenggarakan workshop secara berangkai di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua dan Jawa Timur. Workshop tersebut akan diperuntukkan bagi pejabat terkait dari provinsi, kabupaten, penyuluh perikanan, dan tokoh nelayan.

     Dalam workshop nantinya akan dijelaskan  tentang keberhasilan kegiatan bersama Indonesia-Australia dalam memerangi illegal fishing, termasuk patroli bersama di perbatasan dua negara. Juga disampaikan  mengenai program pemberdayaan yang dimungkinkan untuk menjadi mata pencaharian alternatif bagi nelayan yang semula beroperasi di perbatasan dua negara.

     Sistem penyuluhan perikanan di kabupaten yang akan dijelaskan, karena metode kampanye pelestarian perikanan dan mencegah illegal fishing ini adalah melalui kegiatan penyuluhan. Penyuluhan tersebut didukung oleh alat bantu peta perairan perbatasan yang disepakati oleh kedua negara.

     Memang pada perbatasan Indonesia-Australia terdapat wilayah yang unik, berdasarkan kesepakatan dua negara. Pertama, terdapat wilayah yang tumpang tindih atau overlap antara penerapan dua rezim penentuan batas laut yang berbeda. Australia menganut rezim lintas kontinen, sedangkan Indonesia menggunakan rezim zona ekonomi eksklusif. Dalam aturan internasional terdapat delapan rezim penetapan batas wilayah. Sehingga dalam penerapannya, telah disepakati bahwa pada wilayah tersebut Indonesia memiliki jurisdiksi untuk pengelolaan ikan yang berenang (swimming fisher), sedangan Australia mempunyai jurisdiksi terhadap biota yang menempel di dasar laut (sedentary fish species), seperti teripang.

     Kedua, ada wilayah yang disepakati sejak tahun 1974, karena bentuknya dalam peta seperti gambar peti, maka dikenal dengan wilayah "MoU Box". Walaupun menurut rezim ZEEI (Zona Economi Exklusif Indonesia) sebetulnya terhitung wilayah Australia, akan tetapi karena di sana merupakan wilayah penangkapan ikan atau teripang sejak jaman dulu oleh nelayan Rote, maka khususnya tradisional boleh beroperasi menangkap ikan di sana. Di gugusan pulau Rashmora tersebut terdapat makam nenek moyang nelayan Rote, yang sering diziarahi.

     Ketiga, wilayah di kawasan "MoU Box" tersebut adapula yang lebih ketat pengaturannya, karena termasuk dalam Cagar Alam Nasional Australia, yakni Pulau Pasir dan Pulau Baru. Di sana nelayan tradisional hanya diperbolehkan  untuk mengambil air tawar dan menangkap ikan untuk konsumsi di situ saja. Bahkan di Pulau Baru, hanya diperbolehkan bagi nelayan tradisional yang berlindung pada saat cuaca buruk.

     Karena keunikan yang agak rumit tersebut, maka diperlukan penjelasan melalui penyuluhan, yang diawali dengan workshop tersebut. Upaya yang bertema untuk mengelola sumberdaya perairan diperbatasan secara lestari tersebut dilaksanakan secara persuasif, dan didukung dengan program pemberdayaan ekonomi. Adapun terhadap pelaku illegal fishing yang melanggar jurisdiksi wilayah Indonesia maupun Australia, kedua Negara bekerjasama melakukan penegakan dan penindakan, di antaranya dengan melakukan patroli bersama.

     Untuk keterangan lebih lanjut, silakan hubungi Dr. Soen'an H. Poernomo, M.Ed, Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi, Departemen Kelautan dan Perikanan

 


Editor: PR Wire
COPYRIGHT © ANTARA 2009