Kuala Lumpur (ANTARA News) - Sebanyak 13 pelaut Indonesia yang bekerja di pelayaran Malaysia, Tuah Tankers Sdn Bhd, mengadu ke KBRI Kuala Lumpur karena empat bulan gajinya belum dibayar oleh perusahaan tempat mereke bekerja.

"Mereka kini terlantar mendekam di kapal tankernya di North Port, Klang, Selangor sejak Februari 2009. Mereka tidak dibayar sejak Februari 2009 hingga Mei 2009 ini," kata Atase Perhubungan KBRI Kuala Lumpur, Sahar Andika Putra, Kamis.

Menurut dia, seorang WNI, Sudarmin, kepala ABK (anak buah kapal), MT Suah Sari, telah datang ke KBRI Kuala Lumpur, Rabu. Sudarmin (mualim I) menceritakan ada 13 pelaut Indonesia yang terlantar, tidak dibayar gajinya selama empat bulan, dan terpaksa menunggu di kapal sejak tidak lagi operasi mulai Februari 2009.

Berdasarkan cerita Sudarmin, kapten kapal itu, Rafiq telah meninggalkan begitu saja anak buahnya setelah menerima gajinya terakhir Februari 2009. Akibat meninggalkan kapal dan anak buahnya, Rafiq masuk dalam daftar hitam (black list) oleh Jabatan Laut Malaysia (Ditjen Perhubungan Laut).

Tapi, kapten kapal itu tidak mau bertanggung jawab dan membela kepentingan ABK nya, termasuk 13 pelaut Indonesia. Setelah gajinya dibayar hingga Februari 2009, ia melarikan diri meninggalkan kapal dan anak buahnya.

"Yang menyedihkan lagi, ke-13 pelaut ini sudah melaporkan kepada KPI (kesatuan pelaut Indonesia) namun tidak ada pembelaannya, padahal mereka telah membayar iuran keanggotaan yang cukup besar. Sudarmin itu menunjukan kartu anggota KPI dengan nomor anggotanya 032582," kata Sahar.

Kapal MT Tuah Sari sebenarnya memiliki seorang kapten dan 19 ABK. Tiga ABK Indonesia telah pulang sejak Februari setelah menerima gaji, tiga pelaut lainnya dari Malaysia juga sudah pulang setelah menerima gajinya, kini tinggal 16 orang yang semuanya WNI, masih tertinggal dan bertahan menunggu di kapal, di North Port Klang.

"Gaji mereka yang belum dibayar cukup besar juga, misalkan Sudarmin itu gaji kotornya 8.500 ringgit (sekitar Rp25,5 juta) per bulan dan gaji kotor ABK lainnya minimal 6.500 ringgit (sekitar Rp19,5 juta)," tambah Sahar.

"Saya minta Sudarmin untuk membuat laporan secara tertulis dengan kronologisnya untuk kami advokasi agar pemilik perusahaan Malaysia mau bertanggungjawab menyelesaikan semuanya," katanya.

Menurut catatan dia, ada sekitar 20.000 pelaut WNI bekerja di perusahaan pelayaran internasional, sekitar 2000 pelaut WNI bekerja di pelayaran Asean, dan sekitar 300 pelaut WNI bekerja di pelayaran Malaysia.

Sebelumnya, sekitar 50 pelaut Indonesia yang bekerja di Perusahaan pelayaran Malaysia Nepline Bhd mengadu ke KBRI di ujung tahun 2008 lalu karena tidak dibayar gajinya.

Mereka bekerja di empat kapal tanker milik Nepline Bhd. Hingga saat ini, kasusnya belum selesai, kecuali belasan pelaut Indonesia bekerja di sebuah kapal tangker MAS milik Nepline yang bersandar di Batam.
(*)

Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2009