Jakarta (ANTARA News) - Dosen filsafat Universitas Indonesia Rocky Gerung mengatakan, jika PDIP mewujudkan rencananya berkoalisi dengan Partai Demokrat, maka hal merupakan pendidikan politik yang buruk bagi masyarakat.

Sebab, kata Rocky dalam diskusi bertajuk "Mencermati Koalisi PDIP dan Partai Demokrat" di Jakarta, Selasa, PDIP jelas mempertontonkan inkonsistensi sikap dan mengingkari aspirasi pemilihnya.

"Orang datang ke bilik suara memilih PDIP karena Megawati dianggap sebagai tokoh oposisi yang akan bersaing dengan incumbent," katanya.

Akan tetapi, lanjut Rocky, yang terjadi justru PDIP menyerah sebelum bertarung. "Belum bertarung, bendera PDIP sudah berubah putih," katanya.

Selain itu, PDIP dengan terang-terangan mengingkari hasil keputusan formal institusi partai dalam forum kongres yang menetapkan Megawati sebagai calon presiden hanya karena kepentingan figur tertentu.

Rocky menduga ada agenda tersembunyi yang melatarbelakangi rencana PDIP merapat ke kubu Demokrat, yang pastinya bukan sekedar demi kepentingan bangsa.

"Ini persekutuan dua pihak yang ingin melindungi kesalahan masing-masing di masa lalu, tak sekedar untuk kepentingan bangsa," tandasnya.

Pengamat politik Boni Hargens menilai koalisi PDIP-Partai Demokrat sebagai koalisi yang tak terbayangkan. Namun, jika hal itu terjadi maka PDIP telah menggali kuburnya sendiri.

"Persepsi publik pada PDIP sebagai oposan bisa terbongkar. PDIP bisa ditinggalkan pemilihnya," kata pengajar di Universitas Indonesia itu.

Yudi Latif dari Universitas Paramadina menyarankan PDIP bersabar menunggu perubahan sikap Partai Gerindra yang saat ini belum memiliki kawan koalisi dari kelompok partai yang lolos ambang batas keterwakilan di parlemen atau parliamentary threshold (PT).

Menurut dia, pada akhirnya Gerindra akan menurunkan tawarannya karena peluang mereka mengusung Prabowo Subianto sebagai capres semakin kecil.

"Peluang Gerindra mengusung Prabowo sebagai capres kecil. Kalau PDIP sabar menunggu hingga deadline, pasti dapat cawapres," katanya.(*)

Pewarta: rusla
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2009