Jakarta (ANTARA News) - Bagaimanakah orang biasanya menginginkan kematiannya? Tentu jawabannya adalah mati wajar, tanpa sakit berkepanjangan, tidak merepotkan orang lain dan mendapat penghormatan terakhir dari orang-orang yang menyayanginya.

"Mati Baik-baik Kawan", seperti judul Antologi Cerpen karya Martin Aleida (65) yang diterbitkan oleh penerbit Akar, Yogyakarta, April 2009.

Nyaris tidak ada orang yang bermimpi untuk mati konyol di tangan perampok, mengalami kecelakaan atau disiksa, dihina dan dibunuh, bahkan jasadnya diperlakukan lebih buruk dari bangkai tikus. Tentu tidak.

Cerpen berjudul "Mati Baik-baik, Kawan" yang menjadi judul antologi cerpen ini diangkat dari kisah Mangku, putera Bali yang rela meninggalkan kampung halamannya, melakukan perjalanan terakhir untuk mencari tempat kematian yang "agung" bagi dirinya.

Impian yang dirajutnya sejak menyaksikan kematian ayahnya yang amat terhina. Ayahnya digambarkan sebagai petani tak punya lahan yang disiksa dan dibunuh karena menerima pembagian tanah dalam "landreform" tanah pertanian yang terjadi pada awal 1960-an.

Mangku seperti orang Bali umumnya, penganut Hindu, bahkan sudah mengabaikan impian upacara Ngaben untuk kematiannya. Ia hanya ingin dikuburkan dengan terhormat, seperti ketika ia menguburkan sahabatnya, seekor kera Bali yang menemani pengembaraannya: "Persis sebagaimana kau dikuburkan ini, begitulah kematian yang kuinginkan, Mati baik-baik , Kawan. Diringi doa" (halaman 17).

Dalam cerpen yang aslinya berjudul Mangku Mencari Doa di Daratan Jauh, penulis mengungkapkan "kematian sia-sia" kaum petani miskin yang menjadi korban pergolakan politik seputar peristiwa 1965. Satu sisi gelap dalam sejarah bangsa Indonesia.

Bagi banyak orang, peristiwa 1965 (begitu biasa disebut) adalah kegelapan yang membingungkan. Sejarah yang tercatat dan diajarkan di sekolah menyebut peristiwa tersebut sebagai upaya kudeta oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap pemerintah Orde Lama pimpinan Presiden Soekarno, ditandai dengan penculikan dan pembunuhan petinggi militer.

Bagaimana kebenaran peristiwa tersebut dan bagaimana membuktikannya, sejauh ini tak banyak terungkap. Peristiwa itu tetap menjadi perdebatan karena kegelapan dan informasi yang membingungkan. Siapa yang memberontak, siapa bersalah, siapa kalah dan siapa pemenangnya? Terus diperdebatkan.

Buku antologi cerita pendek "Mati Baik-Baik Kawan", karya Martin Aleida banyak menampilkan tragedi manusia, yaitu kisah nestapa mereka yang terimbas oleh peristiwa tersebut, yang terjadi pada tanggal 30 September 1965. Cerita-cerita yang ditulis Martin sama sekali tidak menyentuh salah satu peristiwa pemberontakan yang terjadi di republik ini.

Martin, kelahiran Tanjung Balai, Sumatra Utara, 31 Desember 1943, sempat menjadi tahanan politik pada tahun 1966 karena profesinya sebagai penulis pada media massa berhaluan kiri.

Membela yang Terpinggirkan

Cerpen-cerpennya yang terbit sesudah era Orda Baru tumbang, bukanlah menceritakan peristiwa pemberontakan tersebut. Melalui cerita-cerita yang ditulisnya, Martin mengungkapkan kritik kepada penguasa Orba yang dinilainya telah semena-mena dan tanpa belas kasih membuat atau setidaknya membiarkan orang-orang tak bersalah harus terkungkung dalam kesengsaraan jiwa dan raganya.

Waktu itu, sebagai pemuda yang sedang bergairah meniti karir di bidang jurnalistik, Martin mempunyai referensi cukup banyak untuk ditulisnya.

Lahirnya reformasi dan tumbangnya masa Orba, seakan menjadi muara bagi Martin, yang dengan deras mengalirkan kisah-kisah nyata di sekitarnya yang diangkatnya dalam karya fiksi. Semua bercerita tentang kepahitan hidup istri, anak dan orang-orang yang dengan serampangan dituding oleh pemerintah Orba --yang menyelamatkan Negara dari peristiwa pemberontakan-- terlibat dalam pemberontakan itu dan harus mempertanggungjawabkannya.

Kekejian yang tersisa dari peristiwa 1965 misalnya, digambarkan Martin dengan sedu-sedan seorang kekasih yang kehilangan tunangannya, hanya karena ayahnya lenyap dan pamannya adalah anggota PKI.

Peristiwa sedih yang tak tertanggungkan itu membuat Kamaluddin Armada, tokoh dalam cerita bertajuk "Malam Kelabu" nekat mengakhiri hidupnya dengan ritual yang bisa mengingatkan pembaca pada kisah tragis penulis Jepang, Mishima, yang mengakhiri hidupnya dengan ritual bunuh diri, hara-kiri atau menusuk perut sendiri.

"Dia rejamkan pisau berdarah itu ke tengkuk, menarik pisau itu ke bawah, memotong urat nada lehernya, dan melukai tulang iganya. Leher itu koyak. Darah menyembur dari lehernya, menyembur dari lengannya." (halaman 46)

Membaca beberapa cerita dalam antologi itu mula-mula bisa membuat pembaca tergiring pada pendapat bahwa cerita-ceritanya berwarna pelampiasan dendam orang-orang yang tersingkir dan terhinakan oleh sikap stereotipe masyarakat dan aparat pemerintah terhadap keluarga atau kerabat orang-orang yang dianggap atau diketahui sebagai anggota PKI.

Tanpa Pelayat dan Mawar Duka, adalah salah satu cerpen yang sebaliknya, menyiratkan duka seorang istri tentara yang suaminya semestinya bertanggung- jawab atas kematian orang-orang tak bersalah, yang ditudingnya dengan bengis telah menjadi anggota PKI atau terlibat dalam kegiatan partai tersebut.

Ia juga memenjarakan keluarga-keluarga mereka atau membuat mereka hidup sengsara.

Tentara bengis itu mati tanpa pelayat dan tak seorang pun berkenan menguburkan jasadnya. Dosa yang kini harus ditanggung oleh istrinya yang harus menggali sendiri kubur suaminya.

Gambaran sebuah dendam, seperti juga dalam kisah "Dendang Perempuan Pendendam" yang berlatar relegius, Islami, yaitu jika seseorang mengambil tanah orang lain, dosanya akan membuat jasadnya kelak tidak akan diterima bumi. Seberapa pun liang kubur digali, tidak akan menampung jasadnya.

Di sini Martin mengungkapkan fakta, bahwa korban bisa saja terjadi di dua sisi, bukan hanya pada mereka yang dicap "tercemar" komunisme, tetapi juga pada penguasa atau orang-orang yang menjadi lupa diri dan memanfaatkan keadaan untuk mencari keuntungan. Mereka dan keluarganya, tak luput dari kesengsaraan yang bagaikan siklus, datang menerpa, ketika gilirannya tiba.

Bukan Dendam Semata

Tetapi buku berisi sembilan cerpen itu - beberapa sudah dimuat dalam Koran-koran dan bahkan mendapat penghargaan, bukan semata-mata mengumbar dendam.

Pada cerita tentang seorang haji pedagang kopiah yang jenaka, pendakwah menggambarkan suasana yang lebih riang, tentang sosok yang religius sekaligus memiliki sifat iseng, suka mengerjai teman-temannya.

Haji Johansyah Kuala yang baik hati itu justru karena kebaikannya mendermakan kupiah-kupiah dagangannya untuk para seniman komunis mementaskan seni drama. Untuk itu ia pun sempat mengalami pemenjaraan.

Sisi muram yang digambarkan dengan riang pada cerita ini, tetap memberi makna untuk direnungkan dan memberi pelajaran hidup, tentang tindakan gegabah, kesabaran dan penerimaan. Pelajarannya adalah bahwa sikap baik seseorang akan selalu dikenangkan oleh orang-orang yang pernah menikmati kebaikkannya.

Kisah-kisah yang ditulis Martin hanyalah bagian kecil dari cerita di balik peristiwa 1965 yang kini nyaris tak perlu lagi disembunyikan, dan mulai bermunculan.

Pada tahun 2004, Yayasan Lontar menerbitkan cerita pengalaman hidup bahkan juga cerita fiksi yang ditulis oleh kaum pelarian -orang-orang Indonesia yang hidup dalam pengasingan terutama di Eropa- karena mereka tidak bisa pulang ke Tanah Air, bahkan kewarganegaraan mereka pun telah dihapuskan.

Nama Martin sebagai penulis yang akhir-akhir ini menekuni kisah-kisah seputar peristiwa 1965 semakin menggema. Ia pun makin laris diwawancarai media asing, peneliti sejarah dan ini mungkin bisa menggugah minat tumbuhnya semakin banyak karya sastra yang mengungkap kebenaran masa-masa gelap itu, seperti harapan Katrin Bandel. Dosen S2 untuk Ilmu Religi dan Budaya pada Universitas Sanata Darma yang menulis penutup pada buku Martin.

Pengenalan tentang penulisnya sendiri, dapat disimak dari penuturan pribadi Martin melalui memoar sepenggal masa hidup dan karirnya ketika 13 tahun menjadi wartawan majalah Tempo.

Leontin Dewangga, salah satu cerpen yang termuat dalam Antologi ini adalah karya Martin tahun 2003 yang mendapat penghargaan dari Pusat Bahasa untuk Penulisan Karya Sastra dengan penilaian keajekan menulis dan pencapaian artistik.

Buku setebal 144 halaman dengan desain sampul dari cerita utama tentang Mangku dan rombongan komedi monyetnya, garapan Ipong Purnamasidhi itu dijual dengan harga semurah sebungkus rokok, Rp10.000,- hadir mengungkap tabir, membuka sedikit selubung yang menutup sepenggal sejarah Indonesia.(*)

Oleh oleh Maria D. Andriana
Editor: Aditia Maruli Radja
COPYRIGHT © ANTARA 2009