Kupang (ANTARA News) - Penerapan ambang batas minimal perolehan suara 2,5 persen dari alokasi kursi DPR (Parliamentary Threshold/PT) dinilai diskriminatif karena hanya diberlakukan untuk DPR RI.

"Jika kita hanya menggunakan satu UU (UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu) maka PT harus juga diberlakukan untuk DPRD provinsi serta DPRD kabupaten/kota agar tidak terkesan diskriminatif," kata pengamat hukum dan politik dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) Nicolaus Pira Bunga SH.MHum di Kupang, Minggu.

Dosen Fakultas Hukum Undana Kupang itu mengemukakan pandangan tersebut setelah melihat adanya kepincangan dalam penerapan Parliamentary Threshold yang hanya untuk perolehan kursi di DPR. Ssedangkan untuk perolehan kursi di DPRD provinsi serta DPRD kabupaten/kota tidak diberlakukan.

Dengan demikian, katanya, tujuan diadakannya Parliamentary Threshold menjadi tidak jelas, karena masih membuka ruang bagi partai politik yang tidak memenuhui ketentuan PT, tetapi memiliki perwakilan di DPRD provinsi maupun di DPRD kabupaten/kota.

"Jika kita mencermati masalah ini dengan baik, maka ruang bagi parpol yang tidak memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold di DPR, dapat diikutsertakan lagi untuk Pemilu 2014. Di sini, saya menilai bahwa tujuan diadakannya Parliamentary Threshold itu menjadi tidak jelas arahnya," kata Pira Bunga.

Menurut dia, dengan diberlakukan PT, calon anggota legislatif yang memenuhi syarat untuk duduk di kursi DPR, akhirnya harus gugur karena partai politik yang mengusungnya tidak memenuhi ketentuan PT.

"Dengan adanya aturan ini, azas demokrasi yang menjunjung tinggi suara rakyat, akhirnya menjadi tidak berharga. Jika memang demikian adanya, kenapa ketentuan Parliamentary Threshold itu hanya diberlakukan untuk perolehan kursi di DPR," kata Pira Bunga.

Ia menegaskan, jika tujuan diadakannya PT untuk penciutan partai politik, maka ketentuan itu harus juga diberlakukan untuk DPRD provinsi serta DPRD kabupaten/kota, karena berasal dari satu roh UU, yakni UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

"Aneh rasanya jika aturan yang dibuat dari roh UU No.10 Tahun 2008 itu, tetapi dalam implementasinya justru tidak diterapkan secara menyeluruh. Kalau diberlakukan secara keseluruhan, berarti adanya keinginan kuat untuk menciutkan partai dengan diterapkannya aturan tersebut," katanya.

Dalam hubungan dengan itu, Pira Bunga juga mengharapkan pemerintah dan DPR hasil Pemilu 2009 dapat meninjau kembali ketentuan Pasal 8 UU No.10 Tahun 2008, karena semangatnya tidak mencerminkan penciutan partai politik.

Pasal 8 UU No.10/2008 menyebutkan, partai politik peserta pemilu sebelumnya dapat menjadi peserta pemilu berikutnya dan seterusnya. Dalam penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud dengan pemilu sebelumnya adalah mulai pemilu Tahun 2009 dan selanjutnya.

"Pasal tersebut harus memformulasikan bahwa partai politik peserta pemilu berikutnya adalah partai politik yang lolos dalam ketentuan Parliamentary Threshold," kata Pira Bunga.(*)

Pewarta: kunto
Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2009