Jakarta (ANTARA News) - Perdebatan mengenai neoliberalisme versus kerakyatan atau mempertentangkan model ekonomi lainnya  tidak lagi relevan karena tidak ada negara yang menerapkan model ekonomi secara mutlak, selain itu model ekonomi liberal dan model ekonomi dengan dominasi negara sudah runtuh.

Hal itu dikemukakan  staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI) M Chatib Basri, pengamat ekonomi Raden Pardede dan Direktur Eksekutif The Indonesian Center for Responsive Politics Bara Hasibuan dalam diskusi "Boedionomics" di Jakarta, Selasa.

Chatib Basri mengemukakan, tidak tepat apabila dikatakan Indonesia penganut model ekonomi neoliberal karena peran negara masih besar meski swasta juga diberi peran cukup luas.

Suatu negara bisa dikatakan menerapkan model ekonomi liberal, antara lain dilihat dari besarnya  persentase impor terhadap PDB.

Impor Indonesia sebesar 29 persen dari PDB, sedangkan Malaysia 80 persen dari PDB. Persentase impor terhadap PDB negara lain, seperti Singapura, Thailand, Taiwan dan Philipina masih lebih tinggi dibanding Indonesia.

"Indonesia menyatakan terbuka, tetapi dalam implementasinya ternyata tidak. Dibanding Malaysia yang menolak neolib tetapi di dalam negeri terbuka sekali," katanya.

Dia mengatakan, investor asing sebenarnya banyak mengeluh dengan penerapan ketentuan yang dianggap kurang memberi kemudahan. Keluhan-keluhan investor asing itu menunjukkan bahwa negara masih berperan besar dalam pengembangan investasi.

Dia mengakui, pemerintah memang mengurangi subsidi BBM, tetapi menaikkan subsidi bagi masyarakat dalam bentuk lain. Misalnya melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT). "Bahkan besarnya subsidi itu mencapai 25 persen di APBN," katanya.

Menurut Chatib Basri, pemerintah telah melakukan privatisasi terhadap BUMN dan aset-aset swasta yang diambilalih pemerintah sejak tahun 1999 hingga 2001. "Tetapi bukan berarti kita bisa mengatakan bahwa Bu Mega itu neolib," katanya.

Chatib Basri mengatakan, justru sejak lima tahun terakhir tidak terjadi privatisasi terhadap BUMN atau aset-aset strategis yang dikuasai negara. Hal itu menunjukkan sikap politik Presiden Yudhoyono yang tidak akan seenaknya melepas aset negara.

Mengenai tuduhan atau penilaian bahwa Boediono seorang neolib, Chatib Basri mengatakan, Boediono dikenal sebagai ekonom sejak tahun 1980-an ketika muncul istilah ekonomi Pancasila. Dalam kiprahnya, Boediono satu garis pemikiran dengan Prof Mubyarto, seorang ahli ekonomi pedesaan dari UGM.

Menurut dia, perdebatan mengenai neolib dan kerakyatan dilakukan oleh orang yang sebenarnya tidak memahami kedua model ekonomi tersebut. Perdebatan juga melibatkan Kwik Kian Gie, padahal Kwik pernah menandatangani LoI dengan IMF yang berisi 100 poin.

"Kalau Kwik merasa tertekan saat menandatangan LoI dengan IMF yang berisi 100 point itu, mengapa di posisi itu ?. Jadi siapa sebenarnya yang neolib ?," katanya.(*)

Pewarta: adit
Editor: Aditia Maruli Radja
COPYRIGHT © ANTARA 2009