New York (ANTARA News) - Indonesia menyambut baik pernyataan kecaman yang dikeluarkan Senin (25/5) oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap aksi uji coba nuklir oleh Korea Utara.

Pada saat yang sama, Indonesia meyakini bahwa DK-PBB perlu memikirkan lebih dari sekedar pemberian sanksi dalam menangani kasus nuklir Korut.

"Yang perlu kita sambut baik adalah kecepatan Dewan Keamanan PBB untuk menanggapi perkembangan uji coba nuklir oleh Korea Utara," kata Duta Besar RI untuk PBB, Marty Natalegawa, kepada ANTARA di New York, Selasa.

Pernyataan Marty itu mengacu kepada sidang darurat yang digelar oleh DK-PBB pada hari Senin, beberapa jam setelah Korut melakukan aksinya.

Sidang darurat yang berlangsung dalam waktu kurang dari satu jam itu kemudian mengeluarkan kesepakatan untuk mengecam tindakan Korut.

Indonesia sendiri menyatakan prihatin terhadap aksi uji coba nuklir yang dilakukan oleh Korut pada pada 25 Mei 2009.

Tindakan Korut dilihat secara luas sebagai pelanggaran terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1718, yang dikeluarkan tahun 2006 menyusul uji coba nuklir yang pertama kalinya dilakukan oleh Korut.

Melalui Resolusi 1718, DK-PBB melarang Korut melakukan semua kegiatan yang berkaitan dengan program roket dan senjata atom. DK juga menjatuhkan sanksi keuangan terbatas dan embargo perdagangan sebagian serta senjata terhadap Korea Utara.

Untuk menyatakan penentangannya terhadap uji coba nuklir yang kembali dilakukan Korut pada 25 Mei, Indonesia menemui berbagai pihak untuk menyampaikan keprihatinan.

Langkah tersebut antara lain dilakukan oleh Marty dengan menemui pihak-pihak kunci, terutama para anggota DK-PBB, termasuk Jepang --yang saat ini menjadi salah satu anggota tidak tetap Dewan Keamanan.

"Kami sampaikan bahwa bagi Indonesia, kejadian ini bukan hanya memprihatinkan dari sudut potensi ancaman terhadap perjanjian non-proliferasi, tapi juga dari sudut sebagai negara kawasan Asia," kata Marty.

"(Kita) mendesak Korut mematuhi resolusi Dewan Keamanan PBB dan segera kembali ke proses dialog di bawah naungan perundingan enam pihak," tambahnya.

Korut telah menolak mekanisme perundingan enam pihak yang juga melibatkan Amerika Serikat, Korea Selatan, China, Rusia dan Jepang.

Indonesia berharap penolakan Korut tersebut tidak menutup peluang bagi terus dilakukannya upaya mengadakan dialog, antara lain melalui mekanisme ASEAN Regional Forum (ARF) yang dalam waktu dekat akan menggelar sidangnya.

"Ini mungkin salah satu forum di mana Korut masih bisa mengadakan dialog dengan negara-negara yang berkepentingan," ujarnya.

Sementara itu, Dewan Keamanan PBB pada Selasa mulai membahas rancangan resolusi baru yang mungkin akan dikenai terhadap Korut.

Ketika ditanya apakah Indonesia memandang penambahan sanksi perlu dijatuhkan melalui resolusi yang baru, Marty menyiratkan bahwa Indonesia lebih memilih dilakukannya dialog sebagai jalan terbaik dalam penyelesaian masalah nuklir Korut.

Pandangan Indonesia itu juga terkait dengan posisi Korut yang cenderung tidak goyah dengan sanksi yang dijatuhkan terhadapnya.

"Sekarang memang ada wacana penambahan sanksi. Korut semakin dikucilkan. Tapi sekarang permasalahannya: Korut adalah negara yang sudah terbiasa dikucilkan. Jadi perlu dipikirkan (alternatif penyelesaian) lebih dari itu," ujar Marty.

"Harapan kita, Dewan Keamanan bisa menyampaikan pandangannya secara united (menyatu), yang intinya meminta Korut mematuhi resolusi DK PBB dan segera kembali ke proses dialog di bawah naungan six party talks," tambahnya.
(*)

Pewarta: surya
Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2009