Brisbane (ANTARA News) - Pengurus Pusat Perhimpunan Pelajar Indonesia di Australia (PPIA) memandang pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) Pembina Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) yang sempat menuai protes para ketua dan anggota PPLN di sejumlah negara sebagai satu aksi nyata pemborosan keuangan negara.

"Pokja Pembina PPLN ini berbeda dengan Panitia Kerja Pemilu Luar negeri (Pokja PLN) yang dibentuk untuk membantu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam melakukan koordinasi pelaksanaan pemilu di luar negeri," kata Ketua Umum Pengurus Pusat PPIA Mohamad Fahmi dalam satu pernyataan sikap, Selasa malam.

Dalam pernyataan sikap PPIA terhadap penyelenggaraan Pemilu 2009 di luar negeri itu, Fahmi mengatakan, Pokja PLN merupakan "panitia ad-hoc" yang terdiri dari anggota KPU dan pejabat Departemen Luar Negeri (Deplu) RI yang dibentuk berdasarkan Peraturan Bersama Ketua KPU dan Menteri Luar negeri.

Berbeda dengan Pokja PLN, Pokja Pembina PPLN yang surat keputusan pembentukannya dikeluarkan oleh PPLN di masing-masing negara ini tidak mempunyai deskripsi pekerjaan jelas namun pos anggaran untuk pembiayaannya dibebankan ke dalam anggaran PPLN, katanya.

"Pembentukan Pokja Pembina PPLN yang beranggotakan kepala perwakilan RI serta staf-stafnya dan beberapa wakil masyarakat ini terkesan diam-diam dan misterius," kata Fahmi.

Berdasarkan informasi akurat yang dihimpun pihaknya, beberapa ketua dan anggota PPLN di berbagai negara sebenarnya telah memprotes niat Deplu atau Pokja PLN untuk memasukkan pembiayaan Pokja pembina ini ke anggaran PPLN, katanya.

"Namun protes tersebut tidak dihiraukan oleh Pokja PLN sebagaimana terbukti melalui berita faks yang diterima. Kemudian Ketua Pokja PLN/Staf Ahli Menlu Bidang Hubungan Kelembagaan tetap memasukkan pos Pokja Pembina PPLN dalam anggaran PPLN," katanya.

Dilihat dari pembiayaan bagi para personil yang duduk di Pokja Pembina PPLN, jumlah total pengeluaran untuk membayar honor pengarah, ketua dan para anggotanya justru "lebih besar dari total pengeluaran untuk honor ketua dan anggota-anggota PPLN secara keseluruhan."

Kenyataan ini semakin memperjelas ketidakberesan dalam pembentukan Pokja Pembina PPLN di luar negeri tersebut, kata Fahmi.

Ia lebih lanjut mengatakan, sebagai kepanjangan tangan KPU di luar negeri, PPLN masih memerlukan bantuan fasilitas dan sumberdaya kantor-kantor perwakilan RI dalam melakukan kegiatannya.

"Namun hal ini bukan berarti bahwa ini merupakan justifikasi untuk memberi insentif bagi kepala perwakilan atau staf yang tidak termasuk dalam struktur PPLN," katanya.

Sebaliknya, para kepala perwakilan dan staf KBRI, KJRI, dan Konsulat RI di luar negeri seharusnya tidak perlu diberi honor tambahan ketika membantu kegiatan-kegiatan PPLN karena sudah menjadi kewajiban para aparat pemerintah mensukseskan Pemilu, katanya.

Fahmi mengatakan, jika pembentukan Pokja Pembina PPLN tersebut mempunyai dasar hukum yang kuat, Pokja PLN (dalam hal ini Deplu RI-red.) telah dengan sadar melakukan pemborosan keuangan negara.

"Jika ternyata pembentukan Pokja tersebut tidak mempunyai dasar hukum atau cacat hukum, pihak-pihak berwenang, seperti Bawaslu, BPK, KPK, dan polisi harus segera mengusut kasus ini sampai tuntas," katanya.

Fahmi mengatakan, pihaknya menyoroti keberadaan Pokja ini sebagai bagian dari sumbangan PPIA bagi perbaikan mekanisme demokrasi menyongsong penyelenggaraan Pemilihan Presiden RI 8 Juli 2009. (*)

Pewarta: bwahy
Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2009