Yogyakarta (ANTARA News) - Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Arie Sujito menilai, kampanye satu putaran pemilihan presiden (pilpres) yang gencar dilakukan tim kampanye salah satu pasangan capres-cawapres bertujuan merusak fokus capres-cawapres lain.

"Kampanye Pilpres 2009 cukup satu putaran dari tim kampanye SBY-Boediono merupakan strategi politik untuk memancing reaksi dari JK-Wiranto serta Megawati-Prabowo," katanya di Yogyakarta, Minggu.

Menurut dia, dengan "pancingan" ini, kedua pasangan rival SBY-Boediono akan berupaya menandingi dengan membuat pernyataan balasan.

"Konsekuensinya, tim kampanye JK-Wiranto serta Megawati-Prabowo akan kehabisan waktu untuk kampanye lain karena digunakan untuk menandingi pernyataan tersebut. Mereka akan kehilangan kesempatan berkomunikasi lebih luas dengan masyarakat," katanya.

Ia mengatakan, strategi ini juga untuk membuat `down` dulu pasangan capres-cawapres lainnya, mereka hanya akan berupaya meningkatkan rasa percaya diri, tetapi justru lupa untuk menyampaikan visi misi dan programnya kepada masyarakat.

"Ini akan membuat kubu JK-Wiranto maupun Megawati-Prabowo emosional, dan semua tahu kalau dalam kondisi seperti ini biasanya cara kerja menjadi tidak baik karena hanya memikirkan untuk bereaksi balik," katanya.

Ia mengatakan, kamoanye satui putaran tersebut sebenarnya hanya merupakan bagian dari kampanye dan sebuah permainan politik, atau hanya permainan dengan memanfaatkan lembaga survei.

"Apakah ini nanti akan mendukung atau justru berbalik arah, tergantung bagaimana pasangan capres-cawapres lain menanggapi pernyataan tersebut," katanya.

Arie mengatakan, lembaga survei membuat wacana satu putaran dengan dasar hasil penelitian mereka dan jika rival SBY-Boediono berekasi, maka upaya ini berhasil, tetapi jika tidak, justru akan menjadi bumerang.

"Jika lawan bereaksi keras maka kuat kemungkinan strategi ini berhasil, namun jika tidak, dapat menjadi bumerang karena tidak menutup kemungkinan mesin politik di tingkat bawah merasa di atas angin sehingga mereka tidak lagi bekerja dengan optimal," katanya.

Ia mengatakan, saat ini independensi lembaga survei juga masih dipertanyakan, dan penelitian juga bisa dilakukan atas dasar pesanan. "Hasilnya tentu saja bisa diarahkah, semisal mencari responden dari kantong-kantong pendukung yang ada di daerah atau dengan mengirimkan SMS berulang-ulang," katanya.(*)

Pewarta: adit
Editor: Aditia Maruli Radja
COPYRIGHT © ANTARA 2009