Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan untuk sebagian uji Undang-Undang (UU) Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terkait "quick count".

"Menyatakan mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata pimpinan majelis hakim konstitusi, Moh Mahfud MD, pada acara pembacaan putusan uji UU Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, di Jakarta, Jumat.

Permohonan tersebut diajukan Denny Yanuar Ali, Ketua Umum Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (Aropi) dan Direktur Eksekutif Lingkaran Survey Indonesia (LSI), serta Umar S Bakry (Sekjen Aropi) dan Direktur Yayasan LSI.

Pemohon mempermasalahkan Pasal 188 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), serta Pasal 228 dan Pasal 255 UU Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Pemohon menilai larangan publikasi survei dan quick qount itu, bertentangan dengan kebebasan akademis yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, serta pelarangan itu juga bertentangan dengan tradisi yang lazim di negara demokrasi.

Majelis hakim menyatakan Pasal 188 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 288 dan Pasal 255 UU Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, bertentangan dengan UUD 1945.

"Menyatakan Pasal 188 ayat (5) UU Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, sepanjang frasa `ayat (2), ayat (3) dan` bertentangan dengan UUD 1945," kata Mahfud MD.

Menyatakan Pasal 188 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 228 dan Pasal 255 UU Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Menyatakan Pasal 188 ayat (5) UU Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sepanjang frasa "ayat (2), ayat (3), dan", tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

"Menolak permohonan pemohon untuk selebihnya," katanya.

Pasal 255 UU Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, berbunyi "Setiap orang atau lembaga yang mengumumkan hasil penghitungan cepat pada hari/tanggal pemungutan suara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama 18 bulan dan denda paling sedikit Rp6 juta dan paling banyak Rp18 juta.

Majelis juga mempertimbangkan bahwa survei dan penghitungan cepat yang penyebarannya dijamin oleh UUD 1945 adalah survei dan penghitungan cepat yang didasarkan pada keilmuan dan tidak berdasarkan keinginan atau latar belakang untuk mempengaruhi pemilih.

"Oleh karenanya netralitas survei dan penghitungan cepat sangatlan penting," katanya.

Dalam putusan tersebut, dua hakim konstitusi menyatakan dissenting opinion (pendapat berbeda), yakni, M Akil Mochtar dan M Arsyad Sanusi.

Menanggapi putusan tersebut, pemohon Denny YA menyatakan putusan tersebut, merupakan kemenangan akademik.

"Berarti pada pilpres 8 Juli 2009, bisa diumumkan siapa pemenangnya pada pukul 16.00 WIB," katanya.(*)

Pewarta: imung
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2009