Pekanbaru (ANTARA News) - Keluarga mahasiswa yang dianiaya dalam tahanan oleh polisi Mesir, mendesak Departemen Luar Negeri (Deplu) RI bersikap tegas.

Hal tersebut dikatakan Roudhatul Firdaus yang merupakan kakak kandung dari Fatturahman (23), salah satu mahasiswa yang menjadi korban penganiayaan, kepada ANTARA di Pekanbaru, Sabtu.

"Sampai sekarang adik saya belum divisum karena takut di rumah sakit akan kembali berurusan dengan intelejen Mesir. Seharusnya, KBRI memfasilitsi visum terhadap korban karena akan berguna untuk membuktikan telah terjadi penganiayaan," ujarnya.

Ia mengatakan, hingga kini belum ada tindakan berarti dari Kedutaan Besar Indonesia (KBRI) di Kairo dalam kasus tersebut.

Roudhatul menilai KBRI kurang tanggap mengumpulkan bukti-bukti tindak penganiayaan seperti visum terhadap korban dari rumah sakit.

Sebelumnya, empat mahasiswa Indonesia yang berasal dari Kabupaten Rokan Hulu, Riau, ditahan selama tiga hari oleh kepolisian Mesir tanpa alasan yang jelas.

Mereka adalah Faturrahman mahasiswa tingkat IV asal Desa Pematang Berangan, Kecamatan Rambah, Ahmad Yunus yang juga mahasiswa tingkat IV asal Kecamatan Bangun Purba, Azril mahasiswa tingkat I asal Rokan IV Koto dan Tasrih Sugandi mahasiswa tingkat I asal daerah transmigrasi SP4.

Penahanan empat mahasiswa tersebut dilakukan "Amni Daulah" (polisi Mesir) pada 28 Juni 2009 hingga dibebaskan 1 Juli 2009.

Mereka dijemput paksa dari rumah kost di Kairo. Dalam proses introgasi para mahasiswa mengaku sempat dianiaya seperti ditelanjangi, dipukuli dan disetrum. Bahkan, Fatturahman mengaku sempat disetrum di kemaluannya dan meninggalkan bekas luka-luka.

Roudhatul mengatakan para korban masih trauma akibat insiden itu. Anehnya, lanjut Roudhatul, adiknya sempat mengirimkan pesan singkat (SMS) pada Sabtu dini hari (4/7) yang mengatakan bahwa pihak KBRI meminta agar kasus penganiayaan polisi Mesir tidak dipublikasikan ke media massa.

Dalam pesan itu dituliskan bahwa Fatturahman merasa takut pemberitaan mengenai kasus ini malah akan berdampak buruk pada korban.

"Adik saya mengatakan, KBRI takut efek baliknya (berita) bisa memukul korban lagi. Apalagi di Mesir tidak jelas undang-undangnya," ujar Roudhatul mengutip pesan dari Fatturahman.

Meski begitu, lanjutnya, pihak keluarga tetap mendesak agar Deplu mengusut kasus penganiayaan tersebut. Sebabnya, berdasarkan keterangan dari Fatturahman, proses interogasi yang dilakukan polisi dinilai tidak berpegang pada azas praduga tak bersalah dan terkesan para mahasiswa adalah bagian dari jaringan teroris.

"Adik saya ditanyakan apakah dia sholat, apakah bermain bola dengan ikhwan (orang Mesir), apakah kenal dengan Osama Bin Laden, dan apakah adik saya anggota Ikhwan Al Muslimin. Setiap menjawab pertanyaan, polisi juga menyetrum adik saya hingga ke kemaluannya," ujarnya.

Karena ketidaktegasan pihak KBRI di Kairo, Raudhatul dan keluarga korban lainnya berencana akan segera ke Kantor Deplu di Jakarta untuk menanyakan kasus tersebut.

Menurut dia, Deplu harus mendesak klarifikasi dari pihak kepolisian Mesir mengenai kasus tersebut agar hal serupa tidak terjadi lagi menimpa mahasiswa Indonesia.

"Deplu juga harus mendesak pemerintah Mesir untuk menyampaikan permintaan maaf secara resmi atas penganiayaan ini. Adik saya dan mahasiswa lainnya adalah korban, mereka bukan teroris," katanya.(*)

Pewarta: imung
Editor: Aditia Maruli Radja
COPYRIGHT © ANTARA 2009