Jakarta, (ANTARA News) - Cendikiawan muslim Komaruddin Hidayat mengungkapkan, mayoritas suara umat Islam dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 8 Juli 2009, lebih memilih pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.

"SBY menjadi pilihan mayoritas suara umat Islam karena faktor figurnya, dan Partai Demokrat yang dinilai `friendly` dengan Islam," kata Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah itu di Jakarta, Jumat.

Selain itu, menurut Komaruddin, rakyat tanpa disadari telah memiliki pengalaman berganti-berganti pimpinan yang tidak selalu baik.

"Rakyat memiliki penilaian bahwa lima tahun terakhir ekonomi lebih baik, dan negara aman sehingga memberikan kredit poin bagi `incumbent`," kata Guru Besar Filsafat Agama itu.

Komaruddin melihat, dalam Pemilu 2009 tidak terjadi loyalitas tunggal suara Islam pada suatu partai. Hal ini membuat suasana semakin cair, mengurangi tensi politik dan tidak melahirkan konflik karena alasan agama.

Ini menjadi positif, katanya, karena tidak ada dikotomi politik Islam dengan non-Islam. Kondisi ini terjadi karena partai dan tokoh politik amat "bersahabat" dengan Islam. Partai-partai Islam menjadi anggota koalisi pendukung SBY-Boediono, para pimpinan Organisasi Massa (Ormas) Islam mendukung Jusuf Kalla-Wiranto, dan tokoh-tokoh Islam berada di kubu Megawati-Prabowo.

Menjawab tidak berpengaruhnya dukungan pimpinan Ormas Islam besar terhadap suara JK, Komarudin Hidayat mengatakan, sekarang dalam masalah politik, rakyat lebih mandiri, dan rasional.

Para pimpinan ormas Islam itu, katanya, tetap didengarkan dalam soal-soal agama.

"Pemilu kali ini mengingatkan saya kepada tesis Nurcholis Madjid (Cak Nur) yang mengatakan `Islam Yes, Partai Islam No` di era 1970-an, namun alasannya berbeda dengan kondisi saat ini," kata akademisi yang meraih gelar doktor di bidang Filsafat Barat di Middle East Techical University, Ankara, Turkey (1990).

Di era 1970-an, katanya, Cak Nur melontarkan gagasan itu karena adanya sakralisasi dan ideologisasi Islam. Orang Islam pada waktu itu harus masuk partai Islam, sementara partai Islam saat itu performance-nya tidak begitu bagus.

Karena itu, lanjutnya, banyak orang Islam tidak tertarik masuk partai Islam. "Di satu sisi umat Islam mayoritas, di sisi lain, aspirasinya justru tidak tertampung," katanya.

Karena itu, ungkap Komaruddin Hidayat, Cak Nur kemudian mengatakan, jangan ada identifikasi orang Islam harus masuk partai Islam. Karena hal itu akan mempersempit aspirasi umat Islam, sehingga kemudian dia melontarkan "Islam Yes, Partai Islam No".

"Pada saat itu banyak tokoh-tokoh Islam marah pada Cak Nur. Namun pada akhirnya disadari bahwa Cak Nur benar. Para intelektual dan tokoh Islam yang aspirasinya tidak tertampung di partai-partai Islam, mencari `rumah` lain dan lari ke Golkar," kata direktur pada Pusat Kajian Pengembangan Islam Kontemporer, IAIN Jakarta sejak 1995 itu.

Dewan Editor dalam penulisan Encylopedia of Islamic World itu mengatakan, kalau dulu alasannya sakralisasi partai Islam, sekarang alasannya partai dan ormas Islam kurang mampu menampilkan figur nasional yang menawarkan gagasan yang konkrit untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa.

"Jadi pertimbangan rakyat (suara Islam) tidak memilih partai Islam sekarang karena pertimbangan yang rasional. Mereka beranggapan partai non-agama lebih bagus, mampu menjanjikan bagi kepentingan bangsa dan rakyat. Pada akhirnya, ketika memilih pemimpin (presiden/partai), rakyat Indonesia yang mayoritas Islam bisa berbeda dengan pimpinan/tokoh-tokohnya," katanya.(*)

 

Pewarta: wibow
Editor: AA Ariwibowo
COPYRIGHT © ANTARA 2009