Jakarta (ANTARA News) - Direktur Lembaga Kajian Syariat Islam Fauzan Al Anshari menegaskan, pelarangan shalat Jumat di masjid-masjid di Urumqi, Xianjiang, China, merupakan pelanggaran berat terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).

"Ini merupakan pelanggaran HAM terbesar, melanggar konvensi Jenewa karena menyangkut kebebasan melaksanakan keyakinan," tegasnya di Jakarta, Jumat.

Atas pelanggaran itu, Fauzan mendesak Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk mengutuk pemerintah China karena negara itu tidak memberikan contoh yang baik sebagai salah satu anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB.

Fauzan mengatakan, dengan peristiwa itu China yang dikuasai rezim komunis telah melakukan diskriminasi terhadap umat Islam.

Di satu sisi, umat Islam membiarkan orang-orang komunis China melaksanakan keyakinannya. Sementara umat Islam Urumqi, sudah sekian lama mendapat praktik diskriminasi.

Ia mengatakan, saatnya umat Islam di seluruh dunia untuk bereaksi memprotes pelarangan shalat Jumat di Urumqi, tersebut.

"Umat Islam di seluruh dunia harus membangun solidaritas dengan memprotes tindakan diskriminasi tersebut," kata mantan juru bicara Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).

Fauzan Al Anshari yang bersama Ustaz Abu Bakar Baasyir membentuk ormas Jammah Ansharut Tauhid itu menyebutkan, dalam sejarahnya, etnis Uighur yang beragama Islam merupakan penduduk asli di Urumqi, Xianjiang. Namun penguasa kemudian memasukkan etnis lain, ke wilayah itu.

"Ada semacam gerakan secara sistematis untuk melakukan diskriminasi sosial terhadap etnis Uighur. Etnis ini lama kelamaan tersingkir, dan menjadi warga kelas dua. Bahkan dalam pekerjaan pun mereka banyak yang tidak tertampung," katanya.

Seperti diberitakan, mesjid-mesjid di kota Urumqi, diperintahkan menutup pelaksanaan shalat Jumat. Sementara polisi dikerahkan untuk mencegah kemungkinan meletusnya aksi kerusuhan baru antaretnis yang mematikan.

Sejumlah Muslim Uighur mengatakan, mereka diperintahkan untuk melaksanakan shalat di rumah, pada saat pasukan bersenjata dikerahkan ke jalan-jalan di ibukota wilayah barat laut Xinjiang, lima hari setelah bentrokan yang menurut pemerintah menewaskan 156 orang.

"Pemerintah mengatakan tidak ada pelaksanaan shalat Jumat," kata seorang pria Uighur, Tursun, di luar Masjid Hantagri, salah satu bangunan tertua di ibukota. Saat itu 100 polisi membawa senjata mesin dan tongkat berdiri di dekat Tursun.

"Tidak ada yang bisa kami lakukan. Pemerintah takut bahwa masyarakat akan menggunakan pelaksanaan acara keagamaan itu untuk mendukung tiga kekuatan," katanya.

Tiga kekuatan itu adalah sebutan pemerintah China terhadap ekstrimisme, separatisme, dan terorisme. Kekuatan tersebut dikatakan berusaha memecah wilayah Xinjiang dari China.

Xinjiang berpenduduk delapan juta suku Uighur yang lama mengaku mendapat tekanan dalam pelaksanaan keagamaan, politik, dan ekonomi oleh penguasa China. Kelompok ini menumpahkan kemarahannya Minggu (5/7), dalam aksi-aksi protes yang cepat menjadi aksi kekerasan.

Pemerintah China mengatakan, 156 tewas dan lebih 1.000 orang lainnya cedera, pada saat kaum Uighur diserang kelompok etnis Han yang dominan.

Orang-orang Uighur di pengasingan mengatakan, pasukan keamanan bersikap berlebihan terhadap aksi-aksi yang dilakukan secara damai. Mereka mengatakan lebih 800 orang diduga tewas dalam aksi kerusuhan itu, termasuk petugas keamanan.

Aksi kerusuhan berlanjut awal pekan ini, pada saat ribuan orang Han tumpah di jalan-jalan bersenjatakan pisau, galah, serta senjata buatan lainnya, dan berikrar untuk melakukan balasan terhadap suku Uighur. (*)

Pewarta: mansy
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2009