Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum Dewan Pupuk Indonesia (DPI) Zaenal Soedjais mensinyalir sekitar Rp2 triliun atau 20 persen dana subsidi pupuk tahun 2008 dari total subsidi sebesar Rp14,1 triliun jatuh ke tangan para spekulan dan bukannya ke petani.

Bocornya subsidi pupuk itu, katanya pada Seminar Pengembangan Industri Pupuk Organik di Jakarta, Selasa, terjadi karena selalu adanya kelangkaan pupuk pada musim tanam besar (Oktober-Maret) yang berakibat kenaikan harga meluas ke berbagai daerah.

Di sisi lain, pada musim tanam besar tersebut penyerapan pupuk oleh petani juga cukup besar mencapai sekitar 75 persen dibanding pada musim rendah, akibat permintaan yang besar sementara suplai terbatas, sehingga harga pupuk pada musim tanam besar meningkat.

Petani membeli pupuk dengan harga Rp200/kg lebih mahal atau sekitar 17,5 - 20 persen.

Zaenal mengatakan, dalam dua tahun terakhir ini deviasi harga pupuk bersubsidi dan non subsidi mencapai hingga 500 persen lebih.

"Dengan asumsi angka-angka tersebut, maka dalam tahun 2008 lalu sekitar Rp2 triliun dana subsidi jatuh ke tangan spekulan. Ini artinya tidak semua subsidi tersebut diterima petani," katanya.

Ke depan, katanya, pemerintah harus membuat mekanisme sehingga penyaluran subsidi memenuhi beberapa prinsip seperti tidak adanya kebocoran apapun sehingga semua subsidi diterima petani, subsidi juga hanya dimanfaatkan petani untuk produksi tanaman pangan dan ongkos distribusi subsidi dibuat seefisien mungkin.

Dewan Pupuk Indonesia mengusulkan agar distribusi dan subsidi pupuk diserahkan ke pemerintah daerah sebagai wakil pemerintah pusat. Dalam hal ini, industri pupuk menjual dengan harga normal, kemudian pemda melalui perusahaan daerah mendistribusikan pupuk tersebut ke KUD atau kelompok tani dengan harga khusus atau subsidi.

Dana subsidi itu yang kemudian akan diklaim pemda ke pemerintah pusat bersamaan dengan pengurusan anggaran daerah lainnya. Dengan pola seperti itu, kata Zaenal, industri tidak lagi bersentuhan dengan birokrasi di depkeu, dan pemda bisa mengatur pembagian pupuk bersubsidi ke petani dengan terkontrol.

Khusus untuk subsidi pupuk, Zaenal memperkirakan pada tahun ini akan meningkat. Peningkatan terlihat cukup signifikan dalam dua tahun terakhir ini.

Pada 2008 dari rencana semula anggaran sebesar Rp6,7 triliun kemudian meningkat menjadi Rp14,1 triliun. Peningkatan ini terjadi karena masalah kurs dan juga harga gas.

Pada tahun 2009, pemerintah telah menganggarkan subsidi sebesar Rp16,45 triliun. Namun subsidi itu diperkirakan juga akan meningkat karena faktor ekonomi menjadi sekitar Rp20 triliun.

Namun dari alokasi dana tersebut, menurut Zaenal, subsidi yang diperuntukkan bagi pupuk organik masih begitu rendah.

Pada tahun 2008 misalnya, dari total subsidi sebesar Rp14,1 triliun, jumlah subsidi untuk pupuk masih di bawah Rp400 miliar atau hanya 2,85 persen dari total subsidi pupuk. Untuk tahun 2009, dari total subsidi Rp17,54 triliun, subsidi untuk pupuk organik hanya Rp600 miliar.

"Peningkatan subsidi itu harus dicermati, dan sistem penyalurannya harus disempurnakan," kata Zaenal.

Apalagi, lanjutnya, dampak dari subsidi tersebut adalah penggunaan pupuk anorganik menjadi semakin marak padahal pupuk tersebut bisa memicu penurunan produktivitas lahan.

Dirjen Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian Benny Wahyudi memperkirakan penggunaan pupuk organik pada tahun 2010 mencapai 12 juta ton dan akan menjadi 15 juta ton tahun 2015. (*)

Pewarta: handr
Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2009