Jakarta (ANTARA News) - Mantan Ketua Pansus RUU Pileg dan Pilpres di DPR RI, Ferry Mursyidan Baldan, di Jakarta, Minggu, kembali menyatakan, Putusan Mahkamah Agung (MA) berkaitan dengan Pemilu benar-benar merupakan suatu kekeliruan.

"Baik dari aspek kewenangan, materi yang di-`review`, maupun sistem Pemilu, yakni menyangkut rangkaian Pileg dan Pilpres, ini keliru," tegasnya merespons Putusan MA tentang sebuah `sengketa` Pemilu Legislatif (Pileg) pekan lalu, yakni membatalkan penetapan perolehan kursi tahap kedua berdasarkan sebuah gugatan dari Caleg.

"Ini semua terjadi karena kurang dilihatnya Pemilu dalam suatu sistem, sehingga Putusan MA tentang penghitungan dan penetapan kursi tahap kedua berdasarkan Undang Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, yakni sebagaimana termaktub pada pasal 205 ayat 4 menjadi beban yang akan merusak hasil Pemilu," ungkapnya lagi.

Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golkar ini menilai, Putusan MA tersebut semakin merunyamkan Pemilu kali ini, karena diajukan setelah ada penetapan hasil yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

"Terlebih lagi, domain Pemilu bukan lagi domainnya MA lagi, karena semua sengketa berkait dengan Pemilu adalah domainnya Mahkamah Konstitusi (MK)," tegasnya.

Ferry Mursyidan Baldan juga mengatakan, dari aspek kewenangan, materi tersebut tidak terkait dengan `review` terhadap peraturan dalam undang-undang Pemilu, tapi lebih sebagai `ketidak-puasan` terhadap hasil yang lahir karena aturan itu.

"Jika semua materi yang sebagian besar berasal dari `ketidakpuasan` seperti itu dibenarkan (diputuskan melalui MA), maka semua Parpol, termasuk Calegnya, pasti akan mengajukan gugatan pula," katanya mengingatkan.

Politisi senior Partai Golkar ini juga mengingatkan, dari aspek materi, benar-benar gugatan itu tidak masuk kategori sengketa hasil. "Bahkan juga tidak dapat dikategorikan sebagai pengujian peraturan di bawah undang-undang," tandasnya.

Ia juga menilai, dari aspek sistem Pemilu, jika hasil MA ini diterapkan, dikhawatirkan berpotensi membatalkan Pilpres.

"Karena ada potensi bahwa ada pengajuan pasangan yang menjadi tidak memenuhi syarat. Bisa dibayangkan kondisi yang akan terjadi, jika Putusan MA dilaksanakan, dan ini justru mengabaikan substansi pengaturan yang dibuat oleh undang-undang," jelasnya.

Sementara itu, terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak membatalkan Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009, menurutnya, hanya berkait dengan implementasi.

"Sepanjang implementasinya sesuai dengan Undang Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, seperti yang dihasilkan dalam Rapat Konsultasi untuk Konfirmasi (yang dihadiri Komisi II DPR RI, Pemerintah, KPU dan mantan Pimpinan Pansus RUU Pemilu), maka tidak perlu ada keraguan KPU untuk menetapkan hasil Pemilu Legislatif sesuai dengan Undang Undang Nomor 10 Tahun 2008 tersebut," tegasnya.

Sebab, menurutnya, undang-undang itulah yang memberi kewenangan penuh pada KPU untuk menetapkan hasil.

"Sedangkan terhadap gugatan, hanya dibatasi terhadap sengketa hasil, yakni pelanggaran terhadap angka perolehan, bukan pada pengaturannya," ujarnya.

Ferry Mursyidan Baldan juga mengatakan, dalam undang-undang yang telah dibuat, ada pengaturan tentang tahapan perolehan kursi pada tiap daerah pemilihan (Dapil).

"Jadi, jika ada asumsi yang berbeda, maka hal tersebut pasti menghasilkan rumusan yang berbeda pula. Seperti nilai kursi yang berbeda pada tiap Dapil. Jadi, terhadap tahapan penentuan kursi dan calon terpilih adalah suatu rangkaian sistem yang diatur dalam undang-undang. Tidak bisa dilakukan perubahan pada bagian akhir saja," katanya.

Karena itu, lanjutnya lagi, KPU harus konsisten pada keputusannya. "Karena undang-undang memberi kewenangan penuh, dan Keputusan KPU selama ini sudah sesuai dengan undang-undang, tentu dengan catatan, dikecualikan terhadap Putusan MK tentang Penghitungan Ulang dan Pemungutan Suara Ulang di beberapa daerah," ungkapnya.

"Keteguhan KPU pada keputusannya akan mengakhiri `hiruk pikuk` dan ketidakpastian terhadap hasil Pileg," tandas Ferry Mursyidan Baldan.(*)

Pewarta: ardik
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2009