Jakarta (ANTARA News) - Buku "Energi Positif; Opini 100 Tokoh mengenai Indonesia di Era SBY," mungkin bisa menjadi penerang mengapa Susilo Bambang Yudhoyono mendapat tempat istimewa pada bagian terbesar rakyat negeri ini sehingga terpilih lagi menjadi Presiden Republik Indonesia.

Kendati bercerita tentang Indonesia dalam lima tahun terakhir, buku ini lebih merupakan public relations dan marketisasi politik dari hal-hal positif tentang Yudhoyono, sekaligus sanggahan terhadap suara miring terhadapnya, termasuk klaim lamban mengambil keputusan.

Tokoh-tokoh nasional dan internasional dalam buku ini --dari vokalis "Andra and the Backbone" Dedy Lisan dan petinju Chris John sampai kolumnis Australia Greg Sheridan dan pengarang A Nation in Waiting Adam Schwarz -- seakan berlomba mematahkan kritik-kritik terhadap Yudhoyono.

Mereka menilai Yudhoyono sebagai manusia yang terencana, sistemik saat memandang persoalan, optimistis, bertindak sistematis, santun, perlahan tetapi pasti, intelek, humanis, tidak sektarian, mendengar dulu sebelum bertindak.

Bagi yang mengkhawatirkan Yudhoyono akan mendikte perdebatan publik, Mahfud MD yang sekarang mengetuai Mahkamah Konstitusi melukiskan Yudhoyono sebagai orang yang tidak alergi dengan perbedaan pendapat.

Suatu hari pada 1995, ketika Mahfud menjadi Pembantu Rektor Universitas Islam Indonesia dan Yudhoyono menjadi Komandan Korem di Yogyakarta, berlangsung diskusi mengenai hal-hal sensitif yang dari situ Mahfud mendapat kesan bahwa Yudhoyono bukan perwira kebanyakan. Ia senang mengakrabi kampus dan berdiskusi dengan menanggalkan kultur monolog militer.

Bersama Agus Widjojo dan Agus Wirahadikusumah, yang oleh wartawan Australia Derwin Pereira disebut Gang of Three, Yudhoyono disebut sebagai perwira reformis berpikiran maju yang bahkan hidup pada era yang mengharamkan suara lain.

Buku ini bisa disebut ekspos suara senyap mengenai kiprah, pandangan dan kemilau prestasi Yudhoyono, mengingat Yudhoyono enggan menonjolkan diri meski dia kemilau oleh prestasi sampai-sampai majalah Time yang pelit mengapresiasi pencapaian pemimpin politik Dunia Ketiga pun memasukkannya dalam daftar 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia.

Dino Patti Djalal, editor buku ini, berusaha keras mengorganisasikan testimoni para tokoh ini agar terlihat objektif dan tak membabi buta memuji. Sejumlah tokoh seperti Faisal Basri, Mahendra Siregar dan Yohanes Surya bahkan tak menyebut nama Yudhoyono saat mengapresiasi pencapaian Indonesia selama lima tahun terakhir.

Selain tuturan Mahfud MD, salah satu bagian menarik dari ode tentang pribadi dan prestasi Yudhoyono ini adalah pendapat Ramos Horta, Alwi Shihab, Emil Salim dan tokoh oposisi Malaysia Anwar Ibrahim.

Horta terkesan pada rekam jejak Yudhoyono di Timor Timur yang bebas dari darah rakyat tak berdosa. "Dia selalu sopan terhadap semua orang. Pasukan yang dipimpinnya tak pernah melukai rakyat," kata Horta mengutip kesaksian seseorang di Lospalos.

Sementara Alwi Shihab menukilkan sisi humoris Yudhoyono saat diperintahkan Presiden Gus Dur menyampaikan surat berbahasa Arab kepada Presiden Saddam Hussein. Dinasehati temannya agar berhati-hati jika dalam surat itu Gus Dur bergurau yang tak mengenakan hati Saddam, Yudhoyono meminta Alwi menerjemahkan surat itu.

"Kita semua tahu Gus Dur suka berkelakar, siapa tahu beliau bergurau dengan Presiden Saddam Hussein agar saya ditahan beberapa hari di Baghdad!..Ha..ha," kata Yudhoyono seperti dituturkan Alwi.

Emil Salim lain lagi, dia mengagumi kecintaan Yudhoyono pada buku dan ilmu. "Menyaksikan beliau teliti memilih buku dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan militer, saya tangkap manusia SBY dari sisi 'manusia intelektuil."

Sedangkan Anwar Ibrahim menggambarkannya sebagai simbol kepemimpinan pembaru bagi dunia muslim, khususnya saat Presiden AS Barack Obama menantang dunia Islam untuk berdamai dengan Amerika. "Yudhoyono bisa memimpin dan memetakan arah baru untuk dunia itu," kata Anwar.

Lain hal dengan Mayjen Peter Williams, wakil Yudhoyono semasa bertugas untuk PBB di Bosnia. Dia menyebut Presiden RI keenam itu seorang komandan berpikiran jernih, analitis, inklusif, imaginatif dan berorientasi hasil.

Buku ini tak henti membombardir pembacanya dengan pepujian sehingga Anda tak akan mendapatkan aspek lain di luar hal-hal positif tentang Yudhoyono. Tentu saja itu dapat mempertebal kecintaan para pengagum Yudhoyono.

Dino mengkonsentrasikan upaya dokumentasi testimonial ini dengan menyorot sikap, etos dan praktik hidup positif Yudhoyono yang disebutnya sebagai energi positif, sebuah kekuatan yang diyakini Dino ada pada diri bangsa ini, yang mesti digali seperti Yudhoyono menggalinya sehingga negara berjaya.

Energi positif yang melekat pada Yudhoyono ini pula yang membuat Dino berani menyebut Presiden RI ini menjadi cermin kepada siapa pemimpin Indonesia mendatang berkaca.

"Saya yakin setelah era SBY berakhir suatu hari, kelak presiden-presiden Indonesia setelahnya akan dibandingkan dengan sosok Presiden SBY," kata Dino.

Boleh-boleh saja Dino mengklaim demikian, namun untuk menilai utuh perjalanan bangsa dan kiprah pemimpin, kita memerlukan perspektif lebih lengkap dan lebih jernih lagi.

Para pakar dan sejarawanlah yang mesti tertantang menawarkan perspektif lengkap itu sehingga sisi-sisi tokoh, peristiwa dan sejarah ditulis seimbang, agar bangsa ini tak tenggelam dalam budaya mengkultuskan pemimpin dan melupakan kemanusiawiannya.

Kita perlu menuliskan manusia sebagai manusia, bukan menggambarkannya sebagai malaikat, tetapi juga tidak melukiskannya sebagai monster. (*)

Oleh jafar
Editor: Jafar M Sidik
COPYRIGHT © ANTARA 2009