Jakarta (ANTARA News) - Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Hadi Supeno mengatakan pihaknya berencana mengajukan uji materiil undang-undang nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak ke Mahkamah Konstitusi.

"Rencana untuk merevisi undang-undang pengadilan anak sudah lama dibicarakan tapi sampai sekarang belum ada hasilnya. Karena itu kami ingin membuat loncatan dengan mengajukan uji materiil terhadap undang-undang ini," katanya dalam diskusi tentang kriminalisasi anak di kantor KPAI Jakarta, Jumat.

Hadi mengatakan hal itu perlu dilakukan karena ada pasal dalam undang-undang pengadilan anak yang tidak selaras dengan undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak termasuk yang menyangkut definisi tentang anak.

Menurut pasal 1 (1) undang-undang perlindungan anak, definisi anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk yang masih ada dalam kandungan. Sedangkan menurut undang-undang pengadilan anak, anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai delapan tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin.

Anggota tim ahli hukum KPAI Muhammad Joni menambahkan, undang-undang pengadilan anak mendefinisikan anak yang diduga melakukan perbuatan yang dilarang dengan sebutan "anak nakal".

Istilah itu, menurut dia, kurang tepat karena secara yuridis anak yang masih dalam proses pengadilan (sidang anak) belum tentu bersalah dan mesti diduga tidak bersalah.

"Karena itu, penggantian nomenklatur anak nakal itu bersifar prejudis, labelisasi dan merugikan kepentingan terbaik anak. Dengan undang-undang perlindungan anak, istilah `anak nakal mestinya disesuaikan dengan istilah yang lebih netral seperti `anak yang berkonflik dengan hukum`," jelasnya.

Ia menjelaskan, undang-undang pengadilan anak batasan usia anak juga menggunakan konsep "belum kawin" atau dengan kata lain seseorang dianggap menjadi dewasa secara hukum jika sudah kawin meski usianya belum 18 tahun.

Padahal menurut undang-undang perlindungan anak, lanjut dia, konsep kawin atau belum kawin tidak menentukan status seseorang secara hukum sudah dewasa atau masih anak-anak.

"Hal yang seperti ini bisa merugikan kepentingan anak, karena itu kami meminta masukan dari berbagai pihak untuk mengajukan uji materiil terhadap undang-undang pengadilan anak," kata Hadi.

Anggota Pengurus Pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Aisyah Amini juga berpendapat undang-undang itu perlu diperbaiki.

"Jangan sampai ada lagi anak yang mendapat stigma buruk karena berhadapan dengan hukum. Anak-anak yang berhadapan dengan hukum harus mendapatkan perhatian khusus supaya masa depan mereka tidak menjadi lebih gelap," demikian Aisyah Amini.(*)

Pewarta: kunto
Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2009