Jakarta (ANTARA News) - Pakar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta FH-UMJ), Chaerul Huda meminta Komisi Yudisial (KY) memeriksa hakim agung Mahkamah Agung (MA).

"Sebaiknya Komisi Yudisial segera memeriksa hakim agung MA, agar tidak menimbulkan kekacauan hukum," katanya, Kamis.

Alasannya, kata Chaerul, banyak kasus putusan Mahkamah Agung (MA) menimbulkan polemik dan kekacauan hukum di Indonesia, misalnya putusan MA soal penghitungan tahap ke dua Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan kasus Peninjauan Kembali Djoko Tjandra.

Dikatakan Chaerul, dalam kasus Djoko Tjandra, MA menerima PK yang diajukan oleh kejaksaan. "Ada dua hakim agung yang memberikan dissenting opinion soal usulan Peninjauan Kembali (PK) dari Jaksa. Jadi KY harus berani memeriksa," katanya, Kamis.

Lebih jauh Chaerul menduga menduga ada pelanggaran etika, yang dilakukan oleh hakim agung, dan tidak tertutup kemungkian pada pelanggaran pidana. "Saya menduga ada pelanggaran etika," imbuhnya.

Dikatakannya, dalam Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berhak mengajukan PK adalah terpidana atau ahli waris terpidana. Oleh karena itu kejaksaan tidak mempunyai kewenangan untuk mengajukan PK. "Ini ada apa kok Kejaksaan Agung melakukan PK, misi apa sehingga mereka menerima PK ini,"cetusnya.

Oleh karena, lanjut Chaerul, sebaiknya dilakukan pemantauan terhadap perkembangan laporan tersebut."Saya percaya KY punya integritas untuk memperbaiki, KY bukan hanya menyeleksi hakim agung tapi bagaimana memperbaiki MA," imbuhnya.

Selain, lanjut Chaerul, DPR sebaiknya memanggil atau mempertanyakan pihak Kejaksaan Agung terhadap pengajuan PK yang dinilainya sudah di luar kewenangan Kejaksaan."Ya apakah itu melaui rapat konsultasi atau dalam rapat lainnya," katanya.

Tetapi, diakuinya, dengan masa keanggotaan DPR yang hampir selesai, tidak mungkin bisa dilakukan. Oleh karena itu perlu ada tekanan publik. "Maka itu saya katakan dalam hal ini dibutuhkan tekanan dari publik maupun media masa," ungkapnya.

Dia khawatir jika tidak segera disikapi oleh KY, maka akan menjadi preseden buruk ke depannya bagi hukum di Indonesia.

"Siapa lagi karena MA adalah benteng keadilan terakhir," tandasnya.

Di tempat terpisah, Pakar hukum Universitas Krinadwipayana (UNKRIS) Prof Dr T Gayus Lumbuun berpendapat MA saat ini kondisinya sudah carut-marut. "Putusan MA banyak yang bermasalah, baik kasus Djoko Tjandra maupun soal pembatalan tahap kedua KPU. Ini jelas menimbulkan conflict of law," ujarnya.

Dia juga menambahkan carut marutnya MA terlihat dari adanya putusan MA yang membatalkan penetapan perolehan kursi tahap dua, dimana menurutnya yang mempunyai kewenangan sengketa pemilu adalah MK.

"Meskipun PDIP diuntungkan oleh putusan MA. Tapi ini sesuatu hal carut marut hukum," anggota komisi III DPR F-PDIP.

Oleh karena itu, kata Gayus, sebaiknya dilakukan pergantian kepemimpinan di MA. "Harus ada reformasi di tubuh MA. Karena selama ini belum terjadi perubahan ke arah yang ebih baik diinternal MA," terangnya.

Bahkan kata Gayus, justru sebaliknya MA mengalami kemunduran dengan ditammbahnya masa perpanjangan usia hakim agung menjadi 70 tahun."Anggota MA harus berunding untuk memilih pemimpin yang baru," katanya.(*)

Pewarta: kunto
Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2009