Jakarta (ANTARA News) - Sampai saat ini, orang masih percaya kenaikan kesejahteraan dapat diukur dari seberapa besar pertumbuhan ekonomi nasional dicapai.

Asumsi itu tampaknya sudah menjadi bagian dari keyakinan banyak pihak, termasuk didalmnya para birokrat, sehingga mewarnai penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Negara/RAPBN pada setiap tahunnya.

Apakah sudah tiba saatnya, kini kita berani meninggalkan ukuran kenaikan kesejahteraan tidak melihat berapa besar pertumbuhan ekonominya. Ukuran keberhasilan yang baik, sejatinya harus terkait langsung dengan kesejahteraan rakyat.

Sebut saja, berapa banyak tambahan penduduk yang bisa menikmati pembebasan biaya kesehatan, berapa banyak murid yang bisa menikmati pembebasan biaya pendidikan, berapa banyak tambahan sambungan rumah dari PD Air Minum, berapa banyak unit perumahan bertambah bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah.

Basis untuk mengukur tingkat kesejahteran yang jelas dan mudah diukur disamping memudahkan kerja Pemerintah juga memudahkan masyarakat menilai dan memahami apa yang sedang terjadi secara nyata di sekelilingnya.

Ukuran pertumbuhan ekonomi hanya dimengerti oleh sekelompok kecil intelektual, masyarakat umum hanya "percaya saja" oleh apa yang dikatakan oleh para intelektual tersebut.

Contoh, "meskipun menghadapi krisis ekonomi global, kita harus tetap berupaya mempertahankan pertumbuhan ekonomi nasional pada angka relatif tinggi, setidaknya antara 4 - 4,5 persen. Jika angka itu dapat dicapai, ini adalah sebuah prestasi tersendiri ditengah-tengah resesi perekonomian global saat ini".

Ungkapan itu tentu tak semua rakyat dapat memahami, karena yang dirasakan hanyalah sulitnya dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Apakah menyangkut biaya sekolah untuk anaknya atau merawat kesehatan diri dan keluarganya.

Akibatnya, ketidaksukaan atas apa yang terjadi dengan dirinya, diwujudkan dalam kecaman-kecaman seperti neolib dll, yang juga sulit didefinisikan.

Ukuran pertumbuhan ekonomi tetap bisa digunakan, terutama untuk kepentingan dalam pergaulan dengan pihak internasional, namun harus dijelaskan juga asumsi yang mendasarinya.

Di Indonesia, ukuran pertumbuhan ekonomi tidak serta merta menunjukkan seberapa tinggi kesejahteraan rakyatnya, karena masih berkondisi ekonomi biaya tinggi.

Tidak demikian halnya dinegara yang sudah maju, misalnya seperti Kanada, pertumbuhan ekonominya bisa menjadi sinyal tentang seberapa tinggi kesejahteraan rakyatnya secara umum.

Oleh karena itu, yang paling penting untuk dilakukan adalah, pengukuran yang jelas (kalau bisa berbentuk prosentase peningkatan atau penurunan) bagi semua hal.

Hal ini menuntut validitas data terutama yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik/ BPS agar apa yang dikutip oleh kepala negara (mana kala membacakan RAPBN) tidak menjadi bias atau polemik lantaran data itu kurang akurat.

Kehandalan data merupakan hal penting, karena dengan adanya data yang andal maka segala perencanaan dapat dibuat lebih andal juga.

Perencanaan yang handal, bisa memberikan arah kinerja yang lebih baik. Angka inflasi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, antar tahun hanya 2,71 persen. Jumlah itu merupakan inflasi terendah antar tahun sejak tahun 2000.

Masalahnya, bagaimana angka inflasi "kumulatif" sejak 2000-2009 yang sampai kini masih berjalan? Angka inflasi kumulatif jauh lebih bermakna daripada angka tahunan saat ini, karena masyarakat pun sudah merasakan dampak inflasi multi- tahun itu. Masyarakat umum tidak paham bagaimana angka inflasi sekecil itu dalam kenyatannya harga tetaplah tinggi.

Jika perhitungan dilakukan tiap tahun, maka kita seolah menutup mata, bahwa kejadian yang sudah terlewatkan, atau kejadian yang akan terjadi pada dua - tiga tahun kedepan, tidak terpikirkan secara baik. Padahal dampak yang terjadi biasanya tidak dapat hanya dijelaskan dengan data antar tahun.


Konsumsi paradok

Pertumbuhan ekonomi di Indonesia, seharusnya dilihat dari tingkat permintaan atas adanya kenaikan pendapatan dan karena kebutuhan masyarakat.

Konsumsi masyarakat, merupakan penyumbang atau kontributor dominan terhadap total pertumbuhan ekonomi. Semua ahli ekonomi sepakat dengan parameter itu.

Masalahnya adalah konsumsi masyarakat bisa menjadi kontributor dominan terhadap total pertumbuhan ekonomi jika konsumsi dilakukan secara "alamiah" oleh masyarakat.

Jadi sungguh-sungguh keluar dari kemampuan daya beli masyarakat, bukan konsumsi yang "dikondisikan". Konsumsi yang dikondisikan seperti pemberian bantuan langsung tunai/BTL, pemberian uang secara langsung, kemudian setelah itu baru disensus oleh Badan Pusat Statistik. Cara seperti itu dapat disebut sebagai konsumsi paradoks.

Dengan demikian, konsumsi masyarakat seperti itu tidak dapat dijadikan parameter pertumbuhan ekonomi nasional yang sesunguhnya. Janganlah masyarakat diberi informasi salah dan seolah-olah mereka tidak mengerti.

Betul secara statistik banyak yang kurang faham, tetapi nurani mereka akan merasakan bagaimana sulitnya menjalankan kehidupan tatkala harga naik, dan pendapatan tidak beranjak, sementara kebutuhan terus menuntun.

Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan lebih bermakna jika dalam penyampaian RAPBN juga dengan tegas disampaikan bagaimana tiap departemen dan lembaga-lembaga negara kita akan diukur kinerjanya dalam tahun tersebut.

Saat ini, semua pihak sudah banyak mengapreasiasi peran penting lembaga pemeriksa keuangan eksternal seperti BPK dan akuntan publik. Lembaga pemeriksa tersebut paling tidak dapat mendeteksi pengeluaran keuangan secara tepat guna.

Oleh karena itu, dalam penyusunan RAPBN kedepan, seyogianya ada "tujuan" atau "target" yang jelas terukur bagi tiap departemen dan lembaga, sehingga di akhir tahun tidak ada "fitnah" bahwa suatu lembaga dianggap tidak berhasil karena ada kesenjangan (gap) harapan antara masyarakat dengan departemen dan lembaga tersebut.

Adanya target yang jelas, maka ukuran kinerja menjadi lebih mudah ditentukan. Sehingga DPR tidak harus sibuk memanggil para menteri, dan CEO Badan Usaha Milik Negara/ BUMN tiap kali ada current issue yang digelembungkan oleh media massa (maaf).

Dengan target dan tujuan yang jelas, tiap pemimpin departemen dan lembaga bisa membuat perencanaan strategisnya sesuai dengan apa yang dicanangkan presiden dalam laporan tahunannya.

Perencanaan yang strategis dari tiap departemen dan lembaga adalah hal yang sangat ditunggu-tunggu oleh seluruh masyarakat Indoenesia. (*)

*Penulis, Direktur Bakrie Scool of Management
E-mail regina.arsjah@bakrie.ac.id


Oleh Oleh Dr Regina J Arsjah*
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2009