Jakarta (ANTARA News) - Pada 2 November 2005, sebuah operasi yang diinspirasi Mossad mulai mencapai klimaks di Batu, Indonesia. Sebulan sebelumnya seorang katsa (perwira agen lapangan) di New Delhi, ibukota India, memperoleh informasi tentang Azahari Husin.

Pembuat bom Alqaeda yang paling berpengalaman dan telah diidentifikasi Mossad sebagai dalang serangan bom Juli di London itu sempat berada di Delhi tak lama sebelum sejumlah bom mencabik-cabik Distrik Pahargani di kota itu.

Selama tiga minggu pencarian itu tak berhasil mengungkap jejak salah satu teroris paling dicari di dunia ini.

Kemudian, seorang sayanim (warga Yahudi informan) di Jawa Timur, memberitahu katsa pengendalinya bahwa sejumlah orang mengontrak sebuah rumah di pinggir kota Batu. Dua dari mereka mirip dengan foto-foto para teroris di suratkabar, keduanya dicurigai berada di balik serangan bom di Bali.

Foto-foto tersebut menampilkan sosok Azahari Husin dan salah seorang pemimpin kelompok militan lainnya bernama Noordin Mohammad Top, seorang pembunuh tak kenal kasihan yang berkepribadian serupa dengan Abu Musab Al-Zarkawi di Irak.

Si sayanim melapor bahwa Noordin telah meninggalkan Batu pada malam sebelumnya. Hanya dalam beberapa jam, si katsa tiba di Batu.

Berdasarkan aturan baku yang memastikan bahwa kehadiran Mossad tetap tak diketahui, si katsa menginformasikan kepala stasiun (kepala biro Mossad) di Kedutaan Besar Israel di Delhi. Kementerian Luar Negeri India langsung diberitahu.

Dari sana, satu sambungan telepon dilakukan ke lembaga sejawat di Jakarta, ibukota Indonesia. Hanya kurang dari satu jam setelah pembicaraan telepon pertama itu, sebuah operasi berskala penuh dilancarkan ke Batu.

Meloncat ke kisah lain sebelumnya. Akhir November 1998, PM Turki Bulent Ecevit menelepon PM Israel Benjamin Netanyahu meminta kesediaan Mossad menangkap Abdullah Ocalan, pemimpin separatis Kurdi di luar negeri. Mossad menyanggupi permintaan itu dengan syarat aksi mereka disangkal dan jika berhasil semua pujian akan jatuh ke tangan intelijen Turki.

Beberapa lama kemudian Ocalan ditangkap di Nairobi dan diserahkan ke Turki. Ecevit berpidato tentang keberhasilan itu tanpa menyebut Mossad, mengikuti aturan yang sudah disepakati.

Dua kisah di atas ada di lembar tengah dan akhir dari buku "Gideon's Spies; Sejarah Rahasia Mossad," yang dialibahasakan ke Bahasa Indonesia oleh Pustaka Primatama pada 2009 dari Gideon's Spies; The Secret History of Mossad, karangan Gordon Thomas. Pustaka Primatama menirisnya menjadi dua buku.

Pertamakali diterbitkan pada 1995 saat dinas rahasia terefektif di dunia milik Israel itu dipimpin legenda spionase Meir Amit, buku ini lalu diperbarui pada 2006 ketika Meir Dagan mengepalai Mossad.

Diperas dan diolah dari sumber-sumber primer termasuk para mantan bos Mossad, diverifikasi melalui metode ala jurnalisme investigatif yang diantaranya lewat rangkaian wawancara panjang dengan para pelaku utama termasuk target-target Mossad seperti Yasser Arafat, buku ini bisa disebut karya intelektual mendalam, kendati boleh juga disebut propaganda.

Gordon Thomas sendiri menyebutnya sebagai satu upaya menceritakan apa yang sudah dan sedang terjadi. Yaitu, mengenai spionase yang terlalu sering ditulis bak sebagai mitos dan kisah khayali, padahal banyak orang yang menyukai "dunia dibalik dunia ini."

"Spionase tak pernah berhenti mengundang imajinasi dan dahaga publik. Tujuan saya adalah memuaskan rasa dahaga itu," tulis Gordon yang mengarang 53 buku, kebanyakan soal spionase.

Selain menyinggung Dr Azahari dan Noordin M. Top, buku ini menceritakan bagaimana mata, telinga dan otot Mossad menusuk dunia, dari Timur Tengah sampai Timur Jauh, dari Asia Tengah sampai hutan lebat Amazon, dari Skandinavia sampai ujung selatan Afrika, dari Moskow sampai Beijing. Mereka menjadi pemicu krisis dan konflik, sekaligus pemantik resolusi konflik.

Lebih detail

Berbeda dari dinas rahasia Barat seperti CIA yang membanggalkan teknologi spionase dan fabrikasi informasi, Mossad melihat lebih detail dibanding sekedar mengamati dari jauh karena mereka lebih mengandalkan superioritas manusia ketimbang teknologi. Bagi mereka, intelijen yang baik selalu menuntut hadirnya kesadaran, "melihat ke arah cermin satu gambaran yang samar-samar."

Tak heran, pendengaran dan penglihatan mereka lebih tajam ketimbang CIA, MI6, KGB atau lainnya. Namun, terlepas aksinya yang bengis, Mossad tidak sejorok CIA yang sembarangan mengirimkan tersangka teroris ke penjara-penjara rahasia di seluruh dunia atau ikut mengarang cerita palsu mengenai nuklir Irak.

"Dokumen-dokumen itu palsu. Semuanya diciptakan untuk CIA dan MI6 guna mendukung klaim Tony Blair dan George Bush bahwa Saddam Hussein telah memperoleh bahan uranium," lapor agen Mossad di Roma, bernama sandi Sammy-O mengenai tuduhan Barat bahwa Saddam menguasai nuklir.

Mossad memiliki unit pembunuh kidon yang menguasai aneka jenis alat pembunuh, dari senar gitar sampai sianida.

Di luar keberpihakan sebagian besar orang Indonesia kepada lawan-lawan Israel di Timur Tengah, kerja dan reputasi Mossad mungkin berguna untuk menggambarkan Israel sesungguhnya.

Dinas rahasia Israel itu dikenal licik, licin, bengis dan selalu bergerak senyap sehingga tidak meninggalkan jejak yang memicu kontroversi pakar mengenai aksi mereka yang bisa sangat kejam itu.

Mereka turut menciptakan babak terakhir bagi hidup Putri Diana, mengeksekusi para calon penyerang bunuh diri yang baru diatih di Afghanistan sebelum menyusupi wilayahnya, menyediakan data dan informasi mengenai Alqaeda bagi hampir semua dinas rahasia dunia, termasuk China dan CIA, dan merangkai jaringan hubungan maut kelompok-kelompok yang mereka yakini teroris dengan negara-negara yang mereka sebut sponsor terorisme.

Mereka mengetahui, bahkan terlibat, dalam aksi-aksi kriminal ekonomi, seperti dalam sepak terjang pengusaha Inggris Tiny Rowland yang menyembunyikan miliaran dolar AS harta Irak yang dicuri Saddam.

Ada kisah menarik mengenai sumbangan Vatican untuk gerakan Solidaritas Polandia semasa komunis yang jumlahnya 200 juta dolar AS yang tidak pernah sampai ke tangan Solidaritas karena dicuri Mossad namun hingga kini tak bisa dibuktikan telah dicurinya.

Banyak rahasia di dunia ini yang digenggam Mossad dan tak terjangkau oleh dinas rahasia super lainnya, termasuk CIA. Sebagian mereka bagi dengan yang lain, sebagian dikempitnya erat-erat.

Mossad juga mengetahui fakta-fakta lain yang sesungguhnya terjadi, seperti jejak CIA dalam ledakan pesawat di Lockerbie, Skotlandia, Desember 1988, yang dituduhkan ke Libya.

Mossad juga sudah mengetahui serangan 11 September 2001 sebelum AS menyadarinya. Mossad tahu pesawat rahasia CIA singgah di banyak kota dunia termasuk Jakarta untuk menjemput tersangka teroris, entah untuk diinterogasi, disiksa atau bahkan dilenyapkan.

Tak ada yang tak bisa disusupinya dan tak ada yang tak bisa digertaknya. Efektivitas aksinya kerap melompati hasil negosiasi diplomatik. Mossadlah yang ternyata membuat AS dan Inggris bisa memaksa pemimpin Libya Moammar Gadhaffi mengakhiri ambisi nuklirnya. Moammar ternyata bukan melunak, melainkan "telah dilunakkan" oleh fakta bahwa Mossad sudah mengetahui instalasi-instalasi senjata rahasianya.

Tapi ada satu hal yang luput dari Mossad, yaitu kemenangan Hamas pada Pemilu Palestina Januari 2006. Meir Dagan sang bos Mossad mengakui kebobolan ini.

Dan sebagaimana dinas intelijen lain di dunia, dalam tubuh Mossad juga terjadi pertarungan antar faksi, selain persaingan dengan dinas rahasia Israel lainnya, termasuk dengan intelijen domestik Shin Beth dan dinas intelijen militer Aman.

Perwajahan

Di luar himpunan kisah-kisah menarik di dalamnya, buku yang bisa membuat pembacanya terpana sekaligus mengumpat atau bergidik sekaligus berdecak kagum, edisi Bahasa Indonesia ini menggoreskan guratan-guratan kritik.

Ada buku menarik namun segera susut kemenarikannya gara-gara tampilan yang kurang menarik. Ada buku yang tampilannya menarik namun tak menawarkan apa-apa. Ada buku yang kulit dan isi sama menariknya sehingga pembaca tak berhenti menikmatinya. Ada pula buku yang dari semua sisi tidak menarik. Dan "Gideon's Spies" edisi Bahasa Indonesia ini masuk kategori pertama.

Catatan lain adalah mengenai kualitas penyuntingan dan pembahasaan seperti sexed up yang mestinya diterjemahkan "dilebih-lebihkan" atau "dipoles habis-habisan."

Sedikit sentuhan akhir yang cermat akan membuat edisi Bahasa Indonesia ini terlihat cantik sehingga menarik lebih banyak pembaca, apalagi isinya memang informatif, berharga dan menghibur.

Tentu saja bagi Anda yang memegang pepatah don't judge a book by its cover, buku ini tetap seksi walau tampilannya kurang ayu. (*)

Oleh Jafar M. Sidik
Editor: Jafar M Sidik
COPYRIGHT © ANTARA 2009