Jakarta (ANTARA News) - Perkembangan demokrasi telah membawa Indonesia menjadi salah satu negara yang demokratis. Penyelenggaraan Pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah, Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden merupakan bukti nyata keberhasilan demokrasi di Indonesia.

Namun sayangnya, keberhasilan ini belum diimbangi oleh kuatnya wawasan kebangsaan, sehingga masyarakat mudah terprovokasi oleh berbagai macam aksi, mulai dari pengerahan massa yang anarkis, teror, dan lainnya.

Tindakan ini secara langsung berdampak pada terganggunya kegiatan masyarakat.

Sebagai negara besar dan beraneka ragam kultur, Indonesia sering dijadikan tempat persiapan dan sasaran pelaksanaan kegiatan yang "mengerikan", seperti terorisme.

Sedikit saja terjadi gesekan dalam masyarakat, maka tidak jarang terjadi keresahan, dan sering pula masalah itu dijadikan sebagai alat penekan oleh suatu kelompok untuk memaksakan kehendaknya, sehingga akhirnya terjadi keresahan yang meluas.

Selama ini tindakan terorisme telah banyak menghilangkan nyawa dan harta benda, seperti baru-baru ini terjadi di Hotel JW Marriott dan The Ritz-Carlton di putaran Mega Kuningan Jakarta. Beruntung, beberapa gembong teroris, yang terkait dengan tragedi bom Hotel JW Marriott-Ritz Carlton diberitakan sudah tewas tertembak dan beberapa lainnya tertangkap aparat keamanan.

Suburnya terorisme, dalam spektrum yang lebih luas sangat mungkin disebabkan perubahan perilaku dan kultur pada masyarakat di Indonesia.

Tegur sapa di antara anak bangsa sudah mulai menurun. Sikap apatis ini memperburuk kondisi keragaman budaya yang kita miliki, dan para teroris mungkin merasa semakin nyaman tinggal di Indonesia.

Setelah kejadian bom di Jakarta, Polri dan media sibuk mencari berbagai macam keterangan. Begitu banyak sumber daya yang digunakan untuk menyisir keberadaan gembong teroris, seperti Noordin M Top, Syaifuddin Zuhri maupun tokoh-tokoh baru seperti Mohammad Syahrir, Ario Sudarso dan Bagus Budi Pranoto.

Namun kalau tindakan pencegahan tidak dilakukan secara intens dan terkordinasi dengan baik, keadaan tak akan kunjung membaik dan momentum pembangunan di bidang apapun akan terganggu.

Tindakan Pencegahan

Bagaimana tindakan pencegahannya? Dari sudut pandang TNI AD, di antaranya harus dilakukan dengan peningkatan kepedulian melalui komunikasi dua arah antara Bintara Pembina Desa (Babinsa) dengan masyarakat.

Keberadaan Babinsa perlu diperkuat dengan memberikan alat transportasi dan alat komunikasi untuk mendatangi masyarakat. Memperkuat Babinsa akan lebih murah bila dibandingkan dengan potensi sumberdaya yang hilang akibat teroris.

Saat ini Babinsa di seluruh Wilayah Kodam di Indonesia, terutama Kodam Jaya mendapat tugas tambahan, menyusul adanya aksi peledakan di dua tempat di Jakarta itu.

Para anggota Babinsa diminta mengasah kembali fungsi intelijennya secara lebih baik dan lebih cermat lagi.

Kodam Jaya menyebutkan setiap personel TNI adalah insan intelijen. Oleh karena itu Babinsa di seluruh wilayah Kodam Jaya dilatih kembali dengan maksud agar fungsi intelijen teritorial mereka menjadi lebih tajam.

Saat ini ada 13.500 personel Babinsa di seluruh wilayah Kodam Jaya. Mereka digembleng kemampuan intelijennya dan data yang mereka peroleh nantinya akan dipasok ke kepolisian.

Strategi pertahanan negara menerapkan sistem pertahanan semesta. Itu sejalan dengan kondisi yang diinginkan masyarakat, yakni terbentuknya sebuah dimensi keamanan yang komprehensif, yakni TNI dan Polri ikut berperan secara sinergis.

Walaupun secara struktural kedua instansi tersebut terpisah, tapi dalam fungsi Hankam tetap bersatu. Keduanya sama-sama bertugas untuk melindungi NKRI dan masyarakat Indonesia.

Pada masa sebelum Orde Baru, Babinsa disebut sebagai Bintara Onder Distrik Militer (BODM), kemudian diikuti perubahan organisasi di lingkungan TNI AD, dan diubah namanya menjadi Bintara Urusan Teritorial, disebut Buterpra.

Pada masa itu mereka sangat berperan dalam menghadapi ancaman separatisme dan pemberontakan dan berhasil mengajak masyarakat melakukan perlawanan terhadap pengaruh ideologi komunis. Ini menunjukkan betapa pentingnya peran Babinsa.

UU No 34/2004 mengamanatkan kepada masyarakat untuk menerima pelaksanaan tugas TNI menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.

Dalam kaitan ini, menyikapi perkembangan situasi tanpa memperkuat Babinsa sama artinya dengan membiarkan kejadian bom terulang kembali.

Masyarakat dan aparat keamanan tentu tidak mau menghabiskan waktu hanya untuk menyelesaikan kasus bom.

Masyarakat harus diyakinkan Babinsa tidak akan disalahgunakan, sebaliknya TNI juga harus menjamin tidak akan menyalahgunakan Babinsa.

Babinsa yang kuat sebagai mata dan telinga bangsa Indonesia harus langsung bertatap muka dengan masyarakat, sehingga komunikasi lancar, manuver terorisme juga pasti akan menjadi makin sempit, dan pembangunan di berbagai bidang akan berjalan lancar.

Kalau Babinsa lemah, berarti kita mempersempit komunikasi dengan masyarakat, dan kejadian bom dikhawatirkan akan terulang kembali. Akibatnya, kesejahteraan yang merata bagi bangsa Indonesia akan semakin lama menjadi kenyataan.

Dalam hubungan ini pula, sudah saatnya pemahaman yang salah mengenai Babinsa harus dihilangkan. Jikalau ada isu yang menyebutkan Babinsa perpanjangan tangan politik, maka isu itu sama dengan memposisikan bangsa Indonesia pada tempat yang merugi. Tak perlu melakukan manipulasi kepada rakyat.

Cukup dengan memberikan yang terbaik untuk rakyat dan meluruskan stigma negatif tentang TNI selama ini, maka dengan sendirinya rakyat akan merasa aman dan sejahtera. Babinsa kuat, teroris pun lewat. (***)

*Penulis adalah Kepala Bagian Dokumentasi Data dan Informasi Dinas Penerangan Angkatan Darat

albinersitompul@yahoo.com

Oleh Oleh Letkol Kav. Albiner Sitom
Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2009