Jakarta (ANTARA News) - Perbincangan politik di media massa, khususnya pada setiap menjelang Pemilu kebanyakan berkisar tentang berbagai masalah aktual di dalam negeri, sementara persoalan politik luar negeri relatif jarang dibicarakan, padahal politik luar negeri sama pentingnya dengan kebijakan domestik.

Politik luar negeri adalah komponen dari kebijakan politik nasional yang ditujukan ke luar. Dengan kata lain, politik luar negeri merupakan pencerminan dari kepentingan nasional yang ditujukan ke luar serta merupakan bagian dari keseluruhan kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan nasional.

Mengingat situasi internasional selalu berkembang, politik luar negeri suatu negara kerap mengalami perubahan. Indikator dari perubahan itu di antaranya dalam hal gaya pelaksanaan, dari low profile menjadi high profile atau mungkin sebaliknya; dalam hal titik berat, dari titik berat di bidang politik ke bidang ekonomi atau dari bidang ekonomi ke militer atau mungkin sebaliknya; atau dalam hal arah hubungan, dari yang berorientasi ke salah satu negara adikuasa ke Dunia Ketiga atau sebaliknya.

Bagaimana pun situasi internasional merupakan salah satu faktor yang harus diantisipasi dan diperhitungkan secara matang oleh setiap negara dalam rangka pembuatan kebijakan luar negerinya. Alasannya, karena situasi internasional tidak statis, melainkan selalu berkembang secara dinamis.

Situasi internasional adalah keadaan atau kondisi internasional yang berkembang pada suatu periode tertentu. Salah satu indikator dari situasi internasional yang dinamis itu ialah adanya kerjasama atau terjadinya peningkatan hubungan antara satu negara dengan negara lainnya, baik dalam kerangka bilateral maupun multilateral, dan baik dengan sesama negara berkembang maupun dengan negara maju di bidang politik, ekonomi atau militer.

Indikator lain ialah adanya peningkatan ketegangan (konflik) antara satu negara dengan negara lainnya, baik antar-sesama negara berkembang, antara negara berkembang dengan negara maju ataupun antarnegara maju yang sifatnya global.

Semua perkembangan itu harus selalu diantisipasi oleh setiap negara agar pelaksanaan politik luar negerinya tak menemui hambatan.

Faktor Pemimpin

Dalam kaitan dengan politik luar negeri, K.J. Holsti, salah seorang pakar Hubungan Internasional dalam bukunya International Politics: A Framework for Analysis (1981:366) berpendapat, selain situasi internasional, faktor perilaku pemimpin (policy maker) mempunyai pengaruh yang besar dalam memberi warna terhadap politik luar negeri suatu negara.

Pendapat tersebut mungkin tidak sepenuhnya benar, namun pada banyak negara terlihat bahwa kebijakan luar negeri negara-negara yang bersangkutan kerap tampak sebagai taruhan politik dari pemimpin pemerintahannya.

Kebijakan-kebijakan yang dibuat cenderung dipengaruhi oleh motif-motif pribadinya, dan ini berkaitan erat dengan perilaku figur pemimpin yang memegang tampuk kekuasaan tersebut.

Kecenderungan seperti ini -- menurut Hoslti -- pada dasarnya merupakan manifestasi dari kepribadian (personality) pemimpin yang bersangkutan.

Kepribadian itu sendiri adalah kecenderungan psikologik seseorang untuk berperasaan, berkehendak, berfikir, bersikap dan berbuat menurut pola tingkah pekerti tertentu.

Kepribadian tiap-tiap manusia bersifat khas, dan bagi seorang pemimpin, kepribadiannya terutama mewujud dalam gaya kepemimpinan yang khas, seperti kharismatis, pragmatis, demokratis atau otokratis.

Adapun ciri dari seorang pemimpin yang memiliki kepribadian teguh -- dengan gayanya masing-masing -- antara lain memiliki rasa percaya diri (self relience) yang tebal, sikap yang tegas dan tindakan yang berani serta memiliki cita-cita atau -- lebih ekstrim -- ambisi-ambisi (kepentingan) tertentu.

Kepribadian yang dimiliki pemimpin erat kaitannya dengan latar belakang pemimpin yang bersangkutan. Dalam kaitan ini pakar psikologi yang terkenal, Sigmund Freud berpendapat bahwa dasar-dasar struktur kepribadian seseorang banyak ditentukan oleh pengalaman masa lalunya, terutama masa kanak-kanaknya.

Sementara itu di beberapa negara -- menurut K.J. Holsti -- pemimpin pemerintahan kerapkali menggunakan ideologi sebagai alat pembenar dari tindakan-tindakannya, sekaligus sebagai rasionalisasi dan justifikasi terhadap kebijakan-kebijakan luar negeri yang dibuatnya (KJ Holsti: 1981, 373-374).

Ideologi secara definitif diartikan sebagai suatu sistem pemikiran mengenai teori politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan, dan sistem pemikiran ini menunjukkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat, di mana masyarakat itu sendiri dipengaruhi oleh hasil pemikiran tersebut.

Oleh karena menyangkut berbagai aspek kehidupan, baik politik, sosial, ekonomi maupun kebudayaan, di dunia ini dikenal bermacam-macam ideologi, antara lain ideologi Komunis, Sosialis, Fascis dan Liberal atau Kapitalis.

Masing-masing ideologi memiliki karakteristik yang berbeda. Ideologi Sosialis misalnya, menekankan aspek pemerataan, sedangkan ideologi Liberal atau Kapitalis menekankan aspek persaingan bebas.

Ideologi demikian pentingnya bagi suatu bangsa, sebab dalam artian yang umum ideologi selalu memuat sistem nilai dengan segala simboliknya yang dianggap transendental dan dijadikan pedoman hidup oleh bangsa yang bersangkutan serta acapkali dijadikan pedoman asasi bagi pelaksanaan politik luar negerinya. Maka, dalam kaitan ini nasionalisme juga bisa dikatakan sebagai suatu ideologi.

Hanya saja perlu dicatat bahwa tidak sedikit regim yang berkuasa -- khususnya di negara-negara berkembang -- menjadikan ideologi sebagai salah satu alat legitimasi bagi kebijakan-kebijakan yang dibuatnya.

Faktor Ekonomi

Faktor lain yang tentu saja sangat berpengaruh terhadap perubahan kebijakan luar negeri suatu negara adalah ekonomi domestik atau keadaan ekonomi negara yang bersangkutan sebagaimana dikemukakan oleh Adam Smith dalam Paul A. Samuelson, Economics, An Introductory Analysis (1967:2).

Ekonomi domestik dalam artian yang umum adalah keadaan ekonomi nasional yang berkembang pada satu periode tertentu. Keadaan ekonomi amat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup atau eksistensi suatu negara, khususnya terhadap eksistensi regim yang berkuasa.

Berhasil-tidaknya perekonomian nasional bisa diamati dari beberapa indikator, antara lain tingkat pengangguran, laju pertumbuhan produksi, pendapatan per kapita, dan tingkat inflasi. Kondisi ekonomi domestik itu juga dipengaruhi oleh keadaan ekonomi internasional.

Kondisi perekonomian juga erat kaitannya dengan kondisi sosial, sebab tercapainya kesejahteraan sosial merupakan indikasi dari tercapainya kemajuan perekonomian nasional. Kesejahteraan sosial dimaksud misalnya cukup tersedianya sandang dan pangan serta sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan.

Suatu kondisi sosial yang buruk merupakan cerminan dari kekurang-berhasilan, bahkan mungkin kegagalan perekonomian nasional. Kalau kondisi ini sampai terjadi, besar kemungkinan bahwa pada akhirnya akan muncul ketidak-stabilan politik dan keamanan.

Sebaliknya, tercapainya suatu stabilitas ekonomi adalah sangat memungkinkan bagi terciptanya stabilitas sosial, politik dan keamanan. Tercapainya stabilitas ekonomi bisa diamati dari beberapa indikator, antara lain tingkat pengangguran yang rendah, laju pertumbuhan produksi yang tinggi, pendapatan per kapita yang tinggi, dan tercapainya stabilitas moneter.

Kebijakan ke luar

Berdasarkan apa yang dikemukakan terdahulu, tampak bahwa keadaan ekonomi dalam negeri, situasi internasional dan kepribadian pemimpin maupun ideologi (sistem nilai) yang dianutnya akan banyak mempengaruhi perkembangan serta perubahan poiltik luar negeri, termasuk tentunya kebijakan luar negeri Indonesia ke depan.

Sementara itu arah politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif tetap harus menjadi pegangan. Politik luar negeri bebas-aktif secara historis merupakan pengejawantahan dari buah pemikiran Bung Hatta yang terangkum dalam karya legendarisnya dengan judul "Mendayung di antara dua karang".

Politik luar negeri bebas-aktif secara harfiah memiliki makna dasar sebagai suatu kondisi bebas dan tidak terikat, namun tetap bersikap aktif dalam konteks hubungan antar-bangsa, baik di tingkat regional maupun internasional.

Keputusan Indonesia untuk tidak ikut mendukung dan bergabung dengan pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat dalam konflik Irak, misalnya, merupakan cerminan nyata dan konsekuensi logis dari penerapan politik luar negeri bebas-aktif tersebut.

Dalam konteks hubungan internasional, Presiden RI mendatang pasti akan menjadikan politik luar negeri sebagai bagian penting yang harus dijalankan Pemerintah Indonesia. Situasi internasional yang penuh dinamika menuntut kepiawaian seorang presiden dalam menjalankan politik luar negerinya dengan tetap berpedoman pada politik luar negeri yang bebas-aktif.

Masalah pelik yang masih dihadapi misalnya soal perang terhadap terorisme dan penyelesaian konflik Timur Tengah, selain soal perbatasan serta masalah seni dan budaya dengan Malaysia yang merupakan issu sensitif di dalam negeri. Di lain pihak upaya untuk terus menumbuhkan semangat dan solidaritas ASEAN merupakan tantangan tersendiri yang tidak ringan.

Sementara itu sejumlah problem di dalam negeri seperti ancaman separatisme, masalah penegakan hukum, pemberantasan KKN dan masalah ekonomi yang pelik serta ketergantungan kepada pinjaman (bantuan) luar negeri menuntut keseriusan pemerintah mendatang untuk segera mengatasinya.

Perhatian terutama mesti diarahkan terhadap tercapainya stabilitas perekonomian nasional, sebab faktor ini akan membantu terciptanya stabilitas sosial, politik dan keamanan. Pemerintah perlu melihat bagaimana negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Filipina mampu keluar dari krisis ekonomi dalam waktu yang relatif tidak terlalu lama.

Dalam situasi internasional yang penuh dinamika dan benturan kepentingan, kiprah Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara adikuasa nampaknya masih dominan, bahkan di bidang ekonomi dalam batas-batas tertentu Indonesia masih membutuhkan Amerika, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Meski demikian Pemerintah RI harus terus berupaya mempertahankan politik luar negeri bebas-aktif secara konsisten, dan pemerintah dituntut supaya melaksanakan politik luar negeri yang seluwes mungkin tanpa mengabaikan kepentingan nasional Indonesia.

Masalahnya, di dunia internasional pencitraan Indonesia sampai sejauh ini dapat dikatakan masih relatif lemah, terlebih dengan adanya peledakan bom di Jakarta belum lama berselang.

Dengan melihat rumitnya permasalahan internasional dan domestik, maka tampak bahwa ke depan Indonesia juga memerlukan upaya-upaya Public Relations (PR) negara secara lebih serius, sebab figur presiden yang reformis, demokratis, dan berwawasan internasional hampir tidak ada artinya tanpa adanya PR negara yang handal.

Adapun Fungsi PR dimaksud secara khusus bisa dijalankan oleh para diplomat dari Departemen Luar Negeri serta dari jajaran Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo), bahkan juga oleh Lembaga Penyiaran Publik (RRI dan TVRI) serta Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA.

Di dunia internasional, contoh PR negara yang berhasil adalah VOA yang menyuarakan kepentingan Pemerintah Amerika Serikat dan BBC London yang mengangkat kepentingan Pemerintah Inggris, di samping para diplomatnya yang piawai berdiplomasi. (*)


*Penulis wartawan senior LKBN ANTARA. Pernah bertugas sebagai Kepala Biro ANTARA di New York tahun 1993-1998 dan sedang menyelesaikan Program Doktor Komunikasi di Universitas Padjadjaran Bandung. 

Oleh Oleh Aat Surya Safaat*
Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2009