Jakarta (ANTARA News) - Indonesia dinilai harus kembali menerapkan sistem ekonomi sesuai dengan amanat konstitusi yaitu UUD 1945 dan berhenti menerapkan sistem ekonomi liberal.

"Indonesia harus kembali ke sistem ekonomi konstitusi dan krisis yang terjadi saat ini harus menjadi momentum untuk menyadari kesalahan dan mengkaji kembali untuk melaksanakan sistem ekonomi sesuai cita-cita proklamasi," kata pengamat ekonomi, Revrisond Baswir di Jakarta, Kamis.

Menurut dia, perlu dilakukan reorientasi kebijakan ekonomi di Indonesia dan kembali pada sistem ekonomi yang sesuai dengan amanat UUD 1945.

Ia mengatakan, pada dasarnya tidak ada yang terlalu baru bagi Indonesia bahkan tanpa harus terjadi krisis sekalipun Indonesia sebenarnya telah sejak lama anti-kebijakan ekonomi kapitalistik yang propasar.

"Ada banyak buktinya termasuk dokumen dan tulisan-tulisan Soekarno-Hatta jauh sebelum proklamasi kemerdekaan," katanya.

Penjajahan yang terjadi di Indonesia merupakan turunan kapitalisme yaitu kolonialisme.

Revrisond mengatakan, sejak semula sesuai amanat UUD 1945 apalagi sebelum amandemen, Indonesia ingin mewujudkan demokrasi ekonomi.

Sejak semua tanpa harus terjadi krisis saat ini, Indonesia sejak jauh-jauh hari sudah mempunyai orientasi ekonomi sendiri yang jelas-jelas menolak kapitalisme dan pasar persaingan bebas.

Namun, ia mengatakan, persoalannya bukan semata-mata Indonesia memilih kebijakan karena pada praktiknya terjadi banyak penyimpangan.

"Sejarah menunjukkan perkembangan ekonomi Indonesia tidak hanya digerakkan oleh pilihan domestik semata tetapi juga pihak eksternal yang mengintervensi," katanya.

Intervensi eksternal itu tidak melulu dilakukan dengan cara yang "sopan" seperti diplomasi, argumentasi, dan lobi tetapi juga melalui agresi dan aksi militer yang dilakukan untuk membatalkan rencana pasal 33 UUD 1945.

Ia mencontohkan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) Indonesia dipaksa memilih ekonomi tertentu di mana kedaulatan diakui tetapi ekonomi harus sesuai dengan ketentuan dana moneter internasional pun sebelum menjadi anggota IMF.

"Indonesia sebenarnya terus melawan, buktinya terjadi nasionalisasi aset pada 1953 yang klimaksnya adalah terbitnya UU nomor 16 tahun 1965 yang jelas-jelas menolak kehadiran modal asing di Indonesia," katanya.

Namun tidak lama setelah itu terjadi peristiwa berdarah yaitu gerakan 10 September 1965 yang terkesan merupakan pertikaian politik dan pertarungan militer.

Peristiwa tersebut jarang dilihat sebagai upaya pihak asing untuk memaksakan agenda ekonomi kepada Indonesia. "Tidak lama kemudian terbit UU nomor 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing," katanya.

Di sini terlihat bahwa sejak 1965 hingga saat ini, Indonesia masih tetap dalam belenggu neokolonialisme.

Pada 1998, Indonesia menandatangani letter of intent yang memaksa Indonesia mengakui ketentuan IMF (privatisasi, deregulasi, penghapusan subsidi, dan lain-lain).

Oleh karena itu, Revrisond berpendapat, krisis kapitalisme di Amerika Serikat yang berdampak sampai saat ini harus dijadikan momentum untuk reorientasi kebijakan.

"Ini jadi dasar kita untuk bagaimana krisis di AS itu untuk meyakinkan bahwa AS pun bisa gagal dan kita harus evaluasi kembali apakah masih perlu mengikuti jejak AS yang bisa terkena krisis dan dampaknya luar biasa," katanya. (*)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2009