Semarang (ANTARA News) - Kiai Kanjeng, kelompok musik rebana yang selalu mengusung syiar agama dalam setiap pementasannya, mengajak masyarakat menjadi "tepung" lewat alunan musik Islami saat tampil di halaman gedung DPRD Jawa Tengah, Semarang, Kamis.

"Tepung" adalah analogi yang dilontarkan Emha Ainun Nadjib, pentolan Kiai Kanjeng saat memberikan ceramah di sela-sela pementasan bertajuk "Rebana Concert Kiai Kanjeng", untuk menggambarkan keadaan manusia.

Menurut Emha yang akrab disapa Cak Nun, sesungguhnya alam semesta termasuk manusia dan segala yang melingkupinya dapat dianalogikan dengan tepung yang memiliki partikel-partikel berukuran sangat halus.

Biasanya, kata dia, masyarakat suka menjemur nasi sisa yang sudah basi agar kering dan dapat dimanfaatkan lagi, dan setelah nasi tersebut kering kemudian ditumbuk sampai halus hingga berbentuk tepung.

"Kelak tepung yang berasal dari nasi sisa tersebut dapat dibuat menjadi butiran-butiran seukuran beras yang dapat dikonsumsi kembali," katanya.

Ia mengatakan, kaitan antara masyarakat dengan tepung adalah kondisi masyarakat yang selama ini sering terjebak pada pengkotak-kotakan hingga membentuk butir-butir yang tidak dapat disatukan.

"Butir-butir itu bisa berbentuk partai politik (parpol), organisasi kemasyarakatan (ormas) seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, atau mahzab dalam Islam, misalnya syafi`iyah dan malikiyah," katanya.

Namun, menurut dia, butir-butir itu sering melupakan bahwa mereka berasal dari tepung yang sama, misalnya parpol berasal dari tepung yang bernama demokrasi, ormas berasal dari tepung kemaslahatan umat, sedangkan mahzab berasal dari tepung bernama Islam.

"Akibatnya, diantara butir-butir itu sering terlibat perbedaan pendapat yang berujung pada pertikaian dan permusuhan," ujarnya menambahkan.

Karena itu, menurut Cak Nun, apabila ingin keadaan bangsa menjadi lebih baik, masyarakat sebaiknya belajar dari analogi tersebut dan berusaha menjadi "tepung" agar bersifat melebur dan tidak terkotak-kotak.

"Saat pemilu bolehlah kita berafiliasi menjadi butir-butir parpol, namun setelah semuanya selesai harus berusaha kembali menjadi `tepung` yang lebih mudah melebur untuk mewujudkan kepentingan bangsa yang lebih besar," katanya.

Seperti halnya Kiai Kanjeng, kata Cak Nun, musik yang diusung Kiai Kanjeng merupakan "tepung" yang berasal dari perpaduan berbagai "butiran" (aliran musik, red), seperti jazz, pop, klasik, etnik dan sebagainya.

"Kiai Kanjeng mencampurkan berbagai aliran musik berbeda itu dengan tujuan mengajak manusia berusaha lebih dekat dengan sang pencipta, serta agar masyarakat sadar dan mau belajar dari analogi tepung demi kemaslahatan bersama," kata Cak Nun.

Pada kesempatan itu Kiai Kanjeng tampil sekitar 1,5 jam dengan membawakan beberapa lagu, diantaranya "Zaman Wis Akhir" dan "Sidnan Nabi", setelah tiga kelompok rebana yakni dari Masjid Agung Jawa Tengah, Masjid Agung Kauman dan Masjid Agung Demak tampil bergiliran.(*)

Pewarta: mansy
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2009