Kupang (ANTARA News) - Perlakuan tidak manusiawi yang dilakukan Australia terhadap nelayan tradisional Indonesia, patut dibahas dalam agenda pertemuan trilateral antara Menlu Indonesia, Australia dan Timor Leste di New York dalam pekan ini.

"Masalah kemanusiaan ini patut dibicarakan dalam agenda pertemuan trilateral tersebut, karena persoalannya tidak jauh beda dengan "Balibo Five" 1975 yang diungkit Australia," kata Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB), Ferdi Tanoni di Kupang, Kamis.

Menlu Australia, Stephen Smith dalam pernyataan persnya di Brisbane, Australia, Senin (21/9), sebagaimana dilaporkan ANTARA Canberra, mengatakan, pertemuan trilateral antara dirinya dengan Menlu Indonesia Hassan Wirajudha dan Menlu Timor Leste Zacarias da Costa akan berlangsung di sela pertemuan sesi ke-64 Majelis Umum PBB di New York, pekan ini.

Smith mengatakan, berbagai isu regional yang menjadi kepentingan bersama ketiga negara akan dibahas dalam pertemuan trilateral yang merupakan bagian dari agenda kegiatannya selama di New York dari 19-26 September.

Selain perlakuan tidak manusiawi yang ditunjukkan Australia terhadap nelayan tradisional Indonesia yang mencari nafkah di Laut Timor, kata Tanoni, masalah batas maritim antara Indonesia-Australia-Timor Leste juga perlu dibahas oleh ketiga Menteri Luar Negeri tersebut.

"Masalah batas maritim juga merupakan isu regional yang patut dibahas, selaian perlakuan tidak manusiawi terhadap nelayan tradisional Indonesia oleh Australia," kata penulis buku "Skandal Laut Timor, Sebuah Barter Politik Ekonomi Canberra-Jakarta" itu.

Tanoni mengatakan, nelayan tradisional Indonesia yang melakukan aktivitas di Laut Timor dengan mencari ikan dan biota laut lainnya, sudah sejak 450 tahun yang lalu secara turun-temurun.

Sementara, batas maritim setelah Timor Timur lepas dari pangkauan NKRI melalui referendum pada 30 Agustus 1999, hingga kini tidak pernah jelas, namun secara ekonomis hanya menguntungkan Australian dan Timor Leste, karena adanya migas di Celah Timor.

"Ini persoalan krusial dan merupakan isu regional yang menjadi kepentingan bersama ketiga negara bertetangga itu. Karena itu, masalah tersebut patut dibahas, bukan `Balibo Five` yang digelindingkan Polisi Federal Australia (AFP) saat ini untuk mengusut kematian lima orang wartawan Australia di Balibo pada 1975," katanya menegaskan.

Sehubungan dengan rencana pertemuan trilateral tersebut, Tanoni mengharapkan Menlu Hassan Wirajudha dapat memberanikan diri memasukkan agenda batas maritim RI-Australia-Timor Timur di Laut Timor dan perlakuan tidak manusiawi Australia terhadap nelayan tradisional Indonesia di Laut Timor.

"Hal ini sangat penting untuk dibicarakan, karena sudah merupakan sebuah pelecehan terhadap harga diri, martabat dan kedaulatan NKRI," katanya dan menambahkan, seluruh perjanjian bilateral tentang batas maritim antara RI-Australia di Laut Timor yang dibuat sejak 1971-1997 harus dibatalkan.

Menurut mantan agen imigrasi Kedutaan Besar Australia ini, perundingan kembali tersebut, karena Timor Leste telah berdiri menjadi sebuah negara merdeka dan berdaulat di tepian Laut Timor, setelah 23 tahun berada dalam pangkuan Ibu Pertiwi.

"Semua perjanjian bilateral yang dibuat oleh Indonesia dan Australia sejak 1971-1997, harus dibatalkan dan dirundingkan kembali secara trilateral oleh ketiga negara dengan menggunakan prinsip garis tengah (median line) sesuai dengan hukum internasional yang berlaku," katanya.

"Masalah-masalah ini, kita harapkan dapat disampaikan oleh Menlu Hassan Wirajudha dalam pertemuan trilateral bersama sahabatnya Stephen Smith dari Australia dan Zacarias da Costa dari Timor Leste di New York dalam pekan ini," demikian Ferdi Tanoni.(*)

Pewarta: handr
Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2009