Pariaman (ANTARA News) - Suasana tanggap darurat pascagempa 7,6 Skala Richter (SR)yang mengguncang pesisir pantai barat Sumbar pada 30 September 2009 menyebabkan ribuan korban tewas dan luka-luka sudah memasuki pekan kedua, tetapi aktivitas warga di Kabupaten Padang Pariaman belum pulih.

Kini warga yang rumahnya rusak berat, sedang dan ringan sekalipun akibat gempa pekan lalu itu, tetap masih memilih bertahan tidur di bawah tenda-tenda bantuan serta yang dibangun sendiri dari bahan seadanya.

Bahkan ada yang bertahan di sisi reruntuhan bangunan rumahnya yang belum rata dengan tanah karena tak mendapatkan tenda bantuan. Resiko yang di derita ribuan korban gempa di Padang Pariaman tak hanya kedinginan tetapi berbagai penyakit mulai menghinggap, yakni fileks, diare dan batuk serta penyakit menular lainnya tengah menghadang.

"Kami butuh tenda dan selimuik --selimut-- karena sudah mamsuki dua minggu menahan kedinginan tidur di tenda seadanya," tutur Lisa perempuan 40-an di Padang Sago, Padang Pariaman.

Perempuan itu menambahkan, bukan kami tidak punya selimut tetapi karena masih terhimpit reruntuhan bangunan rumah yang rata dengan tanah. "Baa caro ma ambieknyo, tantu ba tahap", bagaimana cara mengambilnya dan harus bertahap, katanya dengan logat bahasa Minang.

Harapan serupa tentu tak hanya datang dari Lisa, tetapi warga pengungsi lainnya di pemukiman yang parah kerusakan rumahnya akibat gempa dahsat yang menyebabkan 57.651 rumah penduduk rusak berat, 11.761 rusak ringan dan 4.058 tersebar pada 17 kecamatan di Padang Pariaman.

Mahyudin (41) warga Balai Kamis, Batu Gadang, Kecamatan Sungai Geringging ini mengeluhkan hal yang sama berharap bantuan tenda dan selimut.

"Awak...basamo kawan-kawan ala bakali-kali datang ke posko bantuan di kabupaten, (saya bersama-sama teman sudah berulang kali datang) ke posko bantuan utama di kabupaten tetapi tak dapat,"katanya.

Selimut yang diusahakan untuk warga yang banyak bertahan di tenda-tenda darurat, malahan anak-anak mulai terserang demam, gembung dan fileks. Jumlah warga yang terserang penyakit memang belum ada tetapi telah menghinggap korban gempat.

"Kami tak mengetahui apakah stok tenda dan selimut bantuan di gudang Satlak PB Padang Pariaman, atau bagaimana. Jika ada, diharapkan penyaluran disegerakan dan untuk apa harus di tumpuk dalam gudang," harapnya.

Bupati Padang Pariaman, Muslim Kasim menyatakan kalau masalah tenda dan selimut untuk warga yang rumahnya tak layak huni tak teratasi dalam sepekan ke depan, tentulah ketahanan tubuh masyarakat kian menurun dan bisa terserang beragam penyakit, seperti diare dan Inpensi saluran pernapasan akut (Ispa).

Kondisi ini diperparah, penghuni tenda-tenda darurat itu, tah hanya orang dewasa tetapi anak-anak dan balita sehingga potenis terserang penyakit sangat cepat.

"Inilah yang menjadi persoalan tengah dihadapi, bantuan tenda dan selimut memang sudah ada yang masuj tetapi belum memadai. Saya khawatir warga berlama-lama dengan tenda seadanya bisa terserang penyakit menular," katanya.

Kebutuhan lain yang mendesak untuk korban gempa Padang Pariaman adalah obat-obatan dan bahan pangan berupa beras, karena bantuan yang masuk masih dominan mie instans.

"Untuk kelaparan warga korban Padang Pariaman, sulit terjadi karena masih ada buah kelapa sebagai alternatif untuk di konsumsi. Tapi, tentu tak mungkin tiap hari memakan kelapa karena pengaruh terhadap ketahanan tubuhnya tak begitu besar," katanya.

Jika, staminan warga yang tak stabil dengan lingkungan yang berantakan karena reruntuhan bangunan rumahnya akibat gempa Rabu sore itu, peluang untuk terserang berbagai penyakit sangat besar. Bantuan tenda dan selimut ada yang masuk ke posko tetapi jumlah tidak memadai dan setiap yang datang lalu didistribusikan ke masyarakat.

Keluhan warga Padang Pariaman, telah menjadi kekhawatiran kepala daerah dua periode itu, tetapi mengatasi kebutuhan selimut dan tenda, tentu berharap uluran tangan dari berbagai pihak.

Dari data layanan informasi logistik Satlak PB Padang Pariaman, tercatat kebutuhan tenda induk sebanyak 96 unti untuk didirikan di 17 kecamatan dan 37.697 unit tenda yang berkapasitas isi orang atau maksimal empat kepala kelurga dan selimut 225.435 helai.

Kebutuhan semilut terbanyak terdapat di Kecamatan 2X11 Enam Lingkungan membutuhkan selimut mencapai 36.515 lembar, tenda induk tujuh unit dan tenda keluarga sebanyak 4.230 unit.

Kemudian di Kecamatan V Koto Kampung Dalam kebutuhan selimut berjumlah sebanyak 28.340 lembar, tenda induk 11 unit dan tenda untuk keluarga sebanyak 5.464 unit.

Berikutnya di Kecamatan VII Koto Sungai Sarik membutuhkan selimut sebanyk 26.940 lembar, tenda induk delapan unit dan 4.006 unit untuk keluarga.

Sungai Geringging sekitar 13.600 lembar, tenda induk enam unit dan tenda bagi keluarga sekitar 2.810 unit. Bahkan, di di sejumlah kecamatan lainnya.

Bantuan selimut sangat diharapkan untuk korban gempa Padang Pariaman karena hampir mencapai 80 persen rumah penduduk mengalami rusak, dominan bertahan tidur di tenda.



Semangat Goro

Bencana gempa yang telah menibulkan 317 orang korban jiwa dan 519 orang luka-luka berat yang umumnya mengalami patah tulang karena tertimpa material bangunan rumah dan gedung.

Kenyataan ini tentu menjadi luka dan derita korban, tetapi jangan selamanya larut dalam penderitaan itu, masyarakat harus bangkit membangun rumah-rumah darurat dengan material bengunan yang bisa dipakai dengan semangat gotong royong (goro), saran anggota DPRD Sumbar, Siti Izzati Aziz ketika meninjau lokasi-lokasi korban gempa di Padang Pariaman.

Selain itu, peran ninik mamak (tokoh adat, red) juga dibutuhkan dalam menggerakan warga untuk membangun pondok-pondok darurat dari material bangunan yang masih bisa difungsikan.

Menurutnya, kalau dengan sistem Goro untuk membuat rumah-rumah darurat dengan ukuran 8X6 berkemungkinan dalam satu harinya bisa diselesaikan lima unit.

Masalah tenda juga kurang di posko tingkat provinsi Sumbar, kini hanya menunggu menunggu bantuan dari beberapa negara, termasuk Malaysia.

"Kalau warga yang berlarut-larut menunggu bantuan tenda, tentu ancaman penyakit akan terus mengintai karena angin malam. kalau tempat tinggal agak baik, warga tentu berpikir untuk kebutuhan harian saja," katanya.

Makanya jangan berlama-lama dengan kondisi yang ada karena yang merubah diri warga sendiri bukan karena bantuan, tapi masyarakat sendiri. "Sisa material dari reruntuhan bangunan rumah yang masih dimanfaatkan haruslah dimanfaatkan karena bantuan untuk perbaikan rumah warga belum tentu berjalan dalam dua hingga empat pulan ke depan," katanya.(*)

Oleh Siri Antoni
Editor: Aditia Maruli Radja
COPYRIGHT © ANTARA 2009