Bogor (ANTARA News) - Para ahli dari negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) ditambah delegasi dari Korea, berkumpul di Bogor selama dua hari (14-15/10), untuk membahas skema pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD), yang akan diperjuangkan bersama.

"Dalam pertemuan selama dua hari ini, peserta dari ASEAN dan Korea akan menyamakan pandangan untuk diperjuangkan pada Konferensi Para Pihak ke-15 (15th Conference of the Parties-COP 15) UN Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Kopenhagen, Denmark pada Desember 2009," kata perumus lokakarya yang juga pakar kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Ir Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc.F.Trop di Bogor, Rabu.

Dalam kegiatan yang dibuka staf ahli Menteri Kehutanan (Menhut) Wandoyo Siswanto itu, semua peserta diberikan kesempatan untuk menyampaikan pemikirannya.

Para peserta itu diantaranya adalah Hour Lim Chhun dari Kamboja, Dr Ladawan Puangchit Thailand, Niyom Chanhthalangsy dari Laos, Dr Christine Fletcher dari Malaysia, Ohn Lwin dari Myanmar.

Selain itu, Dr Antonio P Carandang dari Filipina, Prof Bambang Hero dari Indonesia dan Dr Phan Minh Sang dari Vietnam, dan dari ASEAN-Korea Environmental Cooperation (AKECOP), serta beberapa elemen seperti Pusat Penelitian Kehutanan Antarbangsa (CIFOR), WWF Indonesia dan beberapa pakar kehutanan lainnya.

Menurut Dodik Ridho Nurrochmat, belajar dari skema mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism/CDM) yang tidak mudah diimplementasikan, pada COP 15 di Kopenhagen nanti, diharapkan skema REDD dapat dioperasionalkan dengan lebih membumi.

Ia menjelaskan bahwa REDD merupakan penyederhanaan dari mekanisme pembangunan bersih (CDM) yang diamanatkan protokol Kyoto untuk periode 2008-2012, namun dalam perkembangannya CDM sulit diimplementasikan sehingga disederhanakan menjadi REDD.

Dalam kapasitasnya sebagai ahli kehutanan IPB, ia menekankan, gambaran bahwa negara pemilik hutan, termasuk Indonesia yang berpotensi memperoleh insentif dari negara-negara maju penghasil karbon sebagai penyedia hutan penyerap karbon, memang tidak sesederhana seperti yang ada dalam konsepnya.

Menurut dia, esensi dari skema REDD adalah kompensasi itu diberikan bila tidak dilakukan penebangan hutan, sedangkan pada skema CDM, adalah bila dilakukan penanaman.

Permasalahan yang belum rinci dari skema REDD itu, kata dia, karena untuk Indonesia pohon itu punya fungsi sosial-ekonomi yang punya dampak luas pada komunitas masyarakat.

"Pohon di dalam hutan itu terkait dengan masyarakat luas, mulai dari warga sekitar hutan, industri yang berbasis kayu dan lainnya, sehingga tidak serta merta sesuai konsep di REDD yang tidak bisa dilakukan penebangan, sehingga mesti ada solusi," katanya.

Untuk itulah, dalam pertemuan dua hari tersebut, semua ahli dari berbagai negara ASEAN dan Korea, akan membahas segala hal yang berkaitan dengan kesiapan untuk memperjuangkan skema REDD yang dapat memberikan kemanfaatan yang maksimal bagi negara yang memiliki hutan.

"Harapannya akan ada satu agenda bersama untuk diperjuangkan di Kopenhagen nanti," katanya.  (*)

Pewarta: bwahy
Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2009