Palembang (ANTARA News) - Ketua Komisi Yudisial M Busyro Muqoddas mengingatkan agar para hakim perlu lebih apresiatif dalam menangani kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di negeri ini.

"Bebarapa kasus HAM di Indonesia hingga sekarang belum diketahui bagaimana penegakan hukumnya," kata Busyro pada pelatihan profesionalisme hakim, di Palembang, Senin.

Menurut dia, terdapat 18 pelaku indikasi pelanggaran HAM di Timor Timur saat masih menjadi bagian NKRI, dua pelaku indikasi pelanggaran HAM di Abepura, lima pelaku pelanggaran HAM di Tanjung Priok, dan kasus Semanggi.

Busyro menilai, para hakim umumnya belum apresiatif serta tidak profesional dalam menjalankan tugas melakukan penegakan hukum kasus pelanggaran HAM tersebut.

Ditambah lagi, masih ada putusan hakim yang cenderung tidak terbuka serta akuntabel dalam menangani kasus pelanggaran HAM dimaksud.

Menurut dia, apresiasi itu dapat dilihat bagaimana hakim menanggapi hal itu sebagai tindakan pelanggaran HAM yang perlu penanganan secara serius.

"Seorang hakim harus memiliki komitmen yang baik serta berapresiasi dalam menanggapi persoalan pelanggaran HAM di negeri ini," kata dia lagi.

Sebagai lembaga yang berperan dalam penegakan hukum di Indonesia, pihaknya selalu melakukan penilaian terhadap kinerja hakim berkaitan dengan penyelesaian kasus pelanggaran HAM itu.

Busyro berharap, ke depan Komisi Yudisial bersama Mahkamah Agung (MA) dapat menjalin sinergi dalam satu tujuan, yaitu penanganan kasus pelanggaran HAM yang belum terpecahkan.

Ia menegaskan, dengan adanya komitmen yang tinggi maka kasus pelanggaran HAM yang menimpa masyarakat dapat dituntaskan, sehingga benar-benar penegakan hukum tidak berlaku diskriminatif.

Seperti terjadi di Timor Timur yang sekarang ini telah berpisah dari NKRI sebagai negara sendiri, Busyro menilai, penegakan hukum dalam kasus pelanggaran HAM di sana berlaku diskriminatif.

Buktinya, antara lain hanya memberikan sanksi terhadap warga sipil, sedangkan oknum anggota militer tidak ditindak.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya (Unsri) Amzulian Rifai, dalam pelatihan ini mengharapkan upaya tercapai independensi hakim dalam penegakan hukum menjadi kebutuhan penting di negeri ini.

Peserta yang mengikuti pelatihan tersebut adalah 25 hakim dari Pulau Sumatra, Jawa dan Kalimantan.

Busyro Muqoddas juga menegaskan bahwa hukum dituntut mampu berfungsi sebagai alat untuk menciptakan keseimbangan dalam setiap situasi ketidakseimbangan (disequality).

Namun dia menyatakan, hingga sekarang ini penegakan hukum itu masih menjadi isapan jempol dan berada di dalam tataran abstrak, sehingga belum bisa "dibumikan".

Menurut dia, realitas ketidakseimbangan antara perolehan hak dibandingkan dengan pembebanan kewajiban dalam lapangan publik (HAM Sipol-Ekosob) masih belum menunjukkan proporsi keseimbangan.

Dia mencontohkan, sejumlah kasus-kasus struktural dalam bentuk pelanggaran hukum lingkungan telah menimbulkan korban massif di pihak rakyat.

Ironisnya, keondisi itu justru akan memberikan keuntungan besar di pihak pengelola pabrik-pabrik yang masih membuang limbah ke sungai dan laut.

"Jutaan korban telah mati secara ekonomis dan kultural sebagai dampak pencemaran itu," demikian Busyro.(*)

Pewarta: mansy
Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2009