Medan (ANTARA News) - Masyarakat tidak perlu mempermasalahkan klub poligami karena itu wajar dan alamiah dalam kehidupan manusia, kata sosiolog IAIN Sumatra Utara Nur Ahmad Fadhil Lubis di Medan, Sabtu.

"Itu fenomena alamiah karena manusia memang punya naluri untuk berasosiasi," katanya.

Ia mengatakan manusia selalu berkeinginan untuk berkumpul dengan orang-orang yang dianggap memiliki kesamaan, baik dalam hal kebiasaan maupun identitas diri.

Fadhil mencontohkan kebiasaan warga perantau yang selalu berkumpul, dan membentuk kelompok dengan identitas kedaerahan, demikian pula dengan kesamaan identitas seperti alumni satu organisasi atau perguruan tinggi yang cenderung membentuk satu ikatan.

"Keinginan serupa juga terjadi pada diri pelaku poligami sehingga mereka membentuk klub," katanya.

Mungkin saja para pelaku poligami itu ingin mencari pengalaman dan pengetahuan dari yang lainnya mengenai cara mengatasi masalah ketika memiliki isteri lebih dari satu.

"Mungkin pula, klub tersebut dijadikan wadah untuk bertukar pikiran, sekaligus menambah pengetahuan," katanya.

Namun, menurut Fadhil, klub poligami bisa merupakan wujud dari reaksi atas penolakan masyarakat terhadap perilaku poligami karena sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat, orang-orang yang mendapatkan penolakan akan mengelompok diri.

Dia mencontohkan penolakan masyarakat terhadap keberadaan waria (wanita pria). "Akhirnya mereka (para waria) membuat kelompok sendiri," kata Fadhil yang juga Rektor IAIN Sumut itu.

Oleh karena itu, selama perilaku kelompok tidak dianggap dosa dalam pandangan agama, maka keberadaan klub poligami tidak perlu dipermasalahkan.

Selain itu, sepanjang klub ini tidak mengeluarkan klaim tertentu seperti pengakuan sebagai kelompok yang paling benar dalam menjalankan syariat agama, maka kemunculannya tidak perlu dipermasalahkan.

Beberapa waktu lalu, sejumlah pelaku poligami membentuk klub di Bandung, Jawa Barat.

Sebelum didirikan di Indonesia, klub poligami telah berdiri di Malaysia, dan jumlah anggotanya sekitar 300 orang. Mereka tersebar di sejumlah negara di antaranya Indonesia, Australia, Singapura, Thailand, serta negara-negara di Timur Tengah. (*)

Pewarta: jafar
Editor: Jafar M Sidik
COPYRIGHT © ANTARA 2009